Leptospirosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira yang dapat menjangkiti manusia dan hewan. Bakteri Leptospira ini paling umum memasuki tubuh melalui hidung, mulut, atau mata, atau melalui abrasi kulit saat orang terpapar air yang terkontaminasi urine dari hewan yang terinfeksi. Leptospirosis terjadi di seluruh dunia tetapi lebih banyak muncul di wilayah-wilayah tropis dan subtropis yang mengalami curah hujan yang tinggi. Kejadian leptospirosis terkait erat dengan faktor-faktor risiko infeksi.
Pada tahun 2019, 920 kasus leptospirosis dilaporkan di Indonesia dengan 122 kematian. Kasus-kasus ini dilaporkan dari sembilan provinsi (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Utara). Namun, jumlah laporan kasus ini sangat kecil dibandingkan dengan kejadian leptospirosis di Indonesia, di mana morbiditas tahunan leptospirosis di populasi Indonesia baru-baru ini diperkirakan berada pada angka 39,2 per 100.000 orang.
Sepanjang bulan Juli dan Agustus 2020, WHO berkolaborasi dengan Global Leptospirosis Environmental Action Network (GLEAN), Food and Agriculture Organization (FAO), Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Perhimpunan Entomologi Indonesia, dan Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia untuk mendukung Kementerian Kesehatan dalam mengadakan rangkaian empat webinar mengenai pencegahan dan pengendalian leptospirosis di Indonesia. Diperkirakan 4.000 peserta dari seluruh Indonesia mengikuti sesi-sesi yang membahas strategi-strategi relevan serta penerapan pendekatan one health untuk menghadapi leptospirosis selama pandemi COVID-19 ini.
Webinar pertama, yang dilakukan pada tanggal 22 Juli, berfokus pada kebijakan nasional tentang pengendalian leptospirosis dalam era ‘adaptasi kebiasaan baru.’ Webinar ini menyoroti tantangan-tantangan diagnosis leptospirosis selama pandemi COVID-19. Gejala-gejala awal leptospirosis dapat tampak mirip dengan gejala-gejala COVID-19; karena itu, penting bagi para tenaga klinis untuk mengetahui gejala serta faktor risiko kedua penyakit sehingga deteksi cepat dan pengobatan yang sesuai mungkin dilakukan sambil tetap mempertimbangkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi yang penting. Selama webinar ini, WHO memaparkan perkembangan global dan strategi internasional untuk pencegahan dan pengendalian leptospirosis yang menggunakan pendekatan kolaboratif one health.

Pamflet Webinar Leptospirosis. Webinar pertama berfokus pada strategi-strategi pengendalian leptospirosis selama era ‘adaptasi kebiasaan baru.’ Kredit: Kementerian Kesehatan
Pada tanggal 29 Juli, webinar kedua menyoroti surveilans, ekologi, dan faktor-faktor kendali, dengan fokus khusus pada tikus sebagai moda transmisi penyakit. Webinar ini juga membahas perkembangan situasi pencegahan leptospirosis global. Seorang pakar internasional dari GLEAN memaparkan epidemiologi dan contoh dari negara-negara lain tentang surveilans tikus dan program pengendalian one health berbasis masyarakat yang diimplementasikan sebagai bagian dari pengendalian leptospirosis.
Webinar ketiga diadakan pada tanggal 5 Agustus dan membahas pentingnya pengendalian leptospirosis pada hewan dan juga surveilans sentinel leptospirosis - termasuk pengalaman surveilans sentinel leptospirosis di DKI Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah. Sistem surveilans yang kuat merupakan strategi utama pencegahan penyakit, terutama karena dapat memungkinkan deteksi dini kasus, identifikasi wilayah prioritas, dan serovar khusus daerah serta implementasi upaya pengendalian yang dibutuhkan. Surveilans menjadi dasar strategi intervensi untuk bidang kesehatan masyarakat bagi manusia dan hewan.

Pamflet Webinar Leptospirosis. Webinar ketiga berfokus pada surveilans leptospirosis. Kredit: Kemkes
Webinar terakhir dalam rangkaian ini diadakan pada tanggal 12 Agustus. Webinar ini berfokus pada faktor-faktor risiko leptospirosis seperti faktor hewan, lingkungan, dan manusia. Memahami faktor-faktor risiko ini penting dalam memilih pendekatan-pendekatan untuk memutus rantai infeksi dan mencegah penyebaran leptospirosis. Webinar ini membahas pengendalian faktor risiko leptospirosis, serta pola penyebaran penyakit dan variasi geografi di Indonesia.
Ada berbagai faktor-faktor risiko leptospirosis di Indonesia dengan kejadian banjir dan munculnya genangan air setelah banjir atau kondisi selokan dan sanitasi yang buruk di daerah hunian. Risiko-risiko ini menjadi lebih buruk saat manusia atau hewan terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi seperti air berlumpur, air sungai atau banjir, atau saat berenang, mandi, atau mencuci di sungai. Pekerja lebih terpapar risiko-risiko ini, terutama mereka yang tidak mengenakan alat pelindung diri, berkegiatan di sawah, mengumpulkan kayu di hutan, dan membersihkan sampah. Selain itu, air minum terkontaminasi dapat menjadi risiko infeksi leptospirosis pada manusia jika air tersebut tidak diolah. Di Indonesia, sistem kewaspadaan deteksi dini dan respons penyakit yang berpotensi mengakibatkan kejadian luar biasa (SKDR)/EWARS untuk leptospirosis digunakan oleh pusat-pusat kesehatan masyarakat untuk melaporkan kasus dugaan leptospirosis kepada dinas kesehatan kota, yang kemudian memverifikasi data dan melakukan kegiatan investigasi dan pengendalian lapangan. Surveilans sentinel leptospirosis menganalisis data epidemiologi dan virologi untuk lebih memahami penyakit ini dan penyebarannya dalam menyusun program-program pencegahan dan pengendalian.
Rangkaian webinar ini berhasil membahas secara menyeluruh unsur-unsur leptospirosis yang relevan bagi Indonesia. Pada khususnya, rangkaian webinar ini menekankan pendekatan one health yang diperlukan untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan mitra dari berbagai sektor – seperti sektor kesehatan, pertanian, dan hewan – untuk melakukan surveilans, deteksi, dan tatalaksana klinis atas penyakit ini serta pentingnya saling berbagi informasi dan data dengan sektor-sektor terkait agar kasus-kasus leptospirosis dapat segera dikendalikan. Melalui keempat webinar ini, para peserta mendapatkan pengetahuan teknis lanjutan dalam pencegahan dan pengendalian leptospirosis di berbagai tingkatan pengelolaan. Sesi-sesi webinar ini juga menjadi forum yang penting di mana para peserta dapat bertukar pengetahuan dan pengalaman praktis dalam menangani leptospirosis di berbagai situasi. Demi pengendalian leptospirosis yang optimal di Indonesia, diperlukan kolaborasi berkelanjutan di antara sektor-sektor dan aktor-aktor dalam semua unsur upaya respons penyakit ini.
Keterangan gambar utama: Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kementerian Kesehatan, membuka sebuah rangkaian webinar tentang Leptospirosis, 22 Juli 2020. Kredit: Endang Wulandari / WHO