
Setelah mengamati instruktur menumbuhkan bakteri difteri pada cawan agar darah, peserta pelatihan pun mencoba proses tersebut. Cystine Tellurite Blood Agar (CTBA) merupakan media selektif yang digunakan untuk mengisolasi dan membudidayakan bakteri difteri (spesies Corynebacterium). Jika bakteri difteri tumbuh, maka akan terlihat koloni berwarna hitam keabu-abuan. Metode ini merupakan tes diagnostik utama dan standar emas untuk infeksi difteri. Kredit: WHO/Bunga Manggiasih
Pada tanggal 23–29 Juni 2024, teknisi-teknisi laboratorium dari seluruh Indonesia mengikuti pelatihan pemeriksaan mikroskopi, bakteri, dan toksisitas untuk difteri, suatu penyakit yang dapat menyebabkan kematian pada 30% kasus yang tidak diimunisasi dan tidak diobati dengan tepat, khususnya anak kecil.
Pelatihan selama satu pekan ini diadakan oleh Balai Besar Laboratorium Kesehatan Jakarta dan melibatkan teknisi-teknisi dari berbagai daerah berisiko dan terdampak, termasuk Ambon, Banda Aceh, Banjarbaru, dan Papua. Kegiatan yang didukung oleh World Health Organization (WHO) dan pemerintah Australia ini melengkapi upaya nasional untuk memperkuat tata laksana kasus difteri dan memastikan setiap bayi mendapatkan tiga dosis vaksin dasar yang mengandung difteri serta dosis ulangan pada usia 18 bulan dan dalam program imunisasi anak sekolah.
Di seluruh dunia, wabah penyakit difteri semakin sering terjadi dengan tingkat keparahan yang meningkat sejak munculnya pandemi COVID-19. Gangguan terhadap layanan imunisasi rutin dan kegiatan surveilans merupakan alasan utama di balik peningkatan ini. Antara tahun 2019 dan 2021, di seluruh dunia, jumlah anak yang belum diimunisasi sama sekali (zero dose) meningkat sebanyak hampir 40%, dengan variasi yang signifikan antar dan di dalam negara.
Di Indonesia, kesenjangan cakupan imunisasi rutin menyebabkan 103 laporan wabah difteri pada 2023 di 68 kabupaten dan kota di 19 provinsi. Sebanyak 69 kasus meninggal dilaporkan dari berbagai daerah. Kasus-kasus difteri dideteksi dan dilaporkan oleh delapan balai besar laboratorium kesehatan di Indonesia. Dua laboratorium tingkat nasional yang terlibat adalah Balai Besar Laboratorium Kesehatan Jakarta dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat Surabaya.
“Deteksi dini kasus difteri dan pelacakan kontak difteri sangat penting untuk pengobatan dan pengendalian difteri yang efektif dan akurat,” kata dr. Endah Kusumowardani, kepala Tim Kerja Laboratorium Surveilans, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. “Kasus suspek difteri harus segera dites dan segera diobati. Karena itulah pelatihan ini sangat penting, khususnya bagi komunitas di daerah-daerah yang kurang mendapatkan pelayanan, terpencil, dan sulit dijangkau.”
Gejala-gejala difteri umumnya mulai muncul 2–5 hari setelah terpapar bakteri dan dapat berupa sakit tenggorokan, demam, pembengkakan amandel, dan rasa lelah. Kasus-kasus difteri biasanya diobati dengan antitoksin dan juga antibiotik yang diuraikan dalam pedoman pengobatan WHO. Pada 2023 dan juga 2024, pedoman ini telah dibagikan dengan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia melalui serangkaian webinar dan lokakarya.
Dalam pelatihan yang dilaksanakan pada 23–29 Juni, peserta menjalani sesi praktik pengelolaan spesimen difteri, keselamatan dan keamanan hayati, serta pemeriksaan spesimen dengan mikroskop dan pembiakan, PCR, dan metode Tes Elek. Pelatihan ini sejalan dengan WHO South-East Asia Region Surveillance Guide for Diphtheria, yang diterbitkan pada September 2023, dan akan memandu program dan prioritas imunisasi Indonesia selanjutnya.
“Australia senang dapat bermitra dengan Indonesia dan WHO untuk memperkuat kapasitas surveilans dan laboratorium untuk melindungi masyarakat serta memitigasi risiko-risiko kesehatan,” ujar Madeleine Scott, First Secretary Health, Kedutaan Besar Australia di Jakarta. “Kegiatan ini menegaskan komitmen kami untuk memperkuat keamanan dan ketahanan kesehatan bersama.”
Sejalan dengan Country Cooperation Strategy 2024–2027 WHO Indonesia, WHO akan terus memberikan dukungan nyata kepada Kementerian Kesehatan yang meliputi seluruh ranah pencegahan, deteksi, dan pengobatan difteri, sehingga dapat membantu pencapaian sasaran pengendalian nasional dan memastikan bahwa bersama, kita “terus membangun lebih baik”.
Kegiatan ini didukung oleh pemerintah Australia melalui Department of Foreign Affairs and Trade.
Ditulis oleh Joshua Harmani, National Professional Officer (VPD Surveillance), WHO Indonesia