Juru Malaria Desa memimpin upaya eliminasi malaria di Purworejo 


Menjelang sore di Desa Banyuasin Loano, Purworejo, Jawa Tengah, warga sedang beristirahat di rumah setelah seharian bekerja di sawah. Supriyanto, seorang anggota Juru Malaria Desa (JMD), pergi dari rumah ke rumah untuk memeriksa tempat berkembang biak nyamuk dan menanyakan apakah ada orang di desa tersebut yang mengalami gejala malaria seperti demam dan sakit kepala.

Petugas JMD seperti Supriyanto sangat berperan dalam strategi untuk memerangi malaria, yang diluncurkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Purworejo pada 2016. Mereka memimpin penemuan kasus, surveilans malaria di tingkat masyarakat, melakukan deteksi cepat, pendampingan pengobatan, dan mencegah penyebaran parasit malaria.

 

 Keterangan foto: Supriyanto, seorang petugas Juru Malaria Desa, sedang melakukan pengambilan sediaan darah malaria untuk diagnostik cepat. Di masa pandemi COVID-19, tenaga kesehatan dan JMD mengenakan masker, penutup wajah, dan sarung tangan sebagai bagian dari protokol kesehatan agar tidak tertular COVID-19. Kredit foto: Widonarto/Dinas Kesehatan Purworejo 

Sebelumnya, peran JMD hanya sebatas sosialisasi malaria, dan mereka hanya mendapat insentif yang rendah. Menyadari pentingnya upaya pengendalian malaria di tingkat desa, Dinkes Purworejo melatih lebih banyak JMD dan menaikkan gaji mereka menjadi Rp1 juta per bulan. Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO untuk berinvestasi pada masyarakat dan tenaga kesehatan sebagai bagian dari strategi pengendalian malaria yang komprehensif. Rekomendasi ini telah diadopsi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kemenkes telah mendukung peran Juru Malaria Kampung/Desa melalui Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2018 tentang deteksi dini dan pemberian obat antimalaria oleh kader malaria pada daerah situasi khusus.

Sejak Purworejo melaporkan tidak ada kasus malaria transmisi lokal pada tahun 2019, peran JMD dalam surveilans migrasi menjadi semakin penting. Artinya, JMD perlu melakukan skrining terhadap orang-orang yang tiba di Purworejo untuk memastikan mereka tidak membawa malaria dari luar dan mereintroduksi malaria ke desa.

Kepala desa akan menginformasikan JMD jika ada orang yang kembali dari daerah endemis malaria. Kemudian, petugas JMD akan melakukan skrining terhadap setiap orang menggunakan uji diagnostik cepat. Jika hasilnya positif, petugas JMD akan merujuk mereka ke puskesmas untuk berobat. Dalam tiga hari, petugas JMD dan petugas puskesmas akan melakukan pengambilan sampel darah massal untuk memeriksa apakah ada orang lain di desa yang tertular.

“Kami harus memastikan semua kasus malaria segera dilaporkan dan ditangani,” kata Supriyanto yang menjadi petugas malaria desa sejak 2013. “Jika orang dari daerah endemis malaria datang pada malam hari, kami tetap harus memeriksanya dan memastikan orang tersebut tidur menggunakan kelambu berinsektisida untuk mencegah penyebaran malaria. Kita harus selalu waspada; kita harus ‘menangkap’ penderita malaria sebelum nyamuk ‘menangkap’ mereka."

Setiap bulan, JMD berkumpul di Malaria Center, pusat koordinasi program pengendalian malaria yang dijalankan oleh Dinkes Purworejo, untuk mendapatkan pelatihan penyegaran yang disampaikan oleh Dinkes Purworejo, Balai/Badan Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP), dan puskesmas. Mereka dilatih untuk mengidentifikasi nyamuk sebagai bagian dari surveilans vektor, mendiagnosis gejala malaria, memastikan pemberitahuan kasus dilakukan dengan cepat, memahami pengobatan malaria terkini, dan memastikan kepatuhan pengobatan pasien.
 

Keterangan foto: Setiap bulan, Juru Malaria Desa (JMD) dan petugas puskesmas berkumpul di Malaria Center, pusat koordinasi program pengendalian malaria yang dijalankan oleh Dinkes Purworejo, untuk mendapatkan pelatihan penyegaran seputar surveilans vektor, identifikasi, dan pelaporan kasus malaria. Kredit foto: Widonarto/Dinkes Purworejo

Menurut Widonarto, staf Dinkes Purworejo yang bertanggung jawab atas program pengendalian malaria sejak 2007, petugas JMD kini jauh lebih terampil dan proaktif dalam mengidentifikasi dan mengisolasi kasus. Para kepala desa juga aktif melibatkan JMD dalam rangkaian pertemuan konsultasi untuk menyusun peraturan desa tentang surveilans migrasi malaria.

“Petugas JMD menunjukkan bagaimana anggota masyarakat yang terlatih dan berdaya dapat berkontribusi secara signifikan dalam pengendalian malaria,” ujar Widonarto. “Mereka sangat berdedikasi dan siaga 24 jam untuk menangani setiap kasus malaria,” tambahnya. 

Suatu malam, Supriyanto, petugas JMD, menerima telepon dari tetangga yang istrinya sedang demam. Supriyanto berangkat pada pukul 10 malam dengan mengendarai sepeda motor dan membawa perlengkapan malaria. Dia memeriksa suhu tubuh orang tersebut dan melakukan tes diagnostik cepat malaria. Hasilnya positif. Supriyanto segera berkonsultasi dengan dokter di Puskesmas Banyuasin, dan orang tersebut diinapkan untuk pengobatan malaria. Keesokan harinya, Supriyanto dan staf puskesmas melakukan survei darah massal kepada sekitar 85% masyarakat di desa tersebut untuk memeriksa apakah parasit malaria telah menginfeksi orang lain. Orang yang dinyatakan positif segera dirujuk ke puskesmas untuk pengobatan. Setelah sekitar satu minggu pengobatan, orang-orang yang terinfeksi telah sembuh dari malaria.

“Bekerja sebagai JMD merupakan kebanggaan bagi saya karena semua anggota keluarga saya menderita malaria ketika saya masih kecil,” kenang Supriyanto. “Saya bersyukur memiliki pekerjaan yang dapat memberikan sedikit kontribusi untuk meringankan penderitaan orang lain. Saya berharap kita dapat terus waspada dan memastikan Purworejo bebas dari malaria 100%!”

Sejak awal pandemi COVID-19, tenaga kesehatan dan JMD telah menerapkan langkah-langkah kesehatan masyarakat dan sosial untuk mencegah penyebaran COVID-19. Para petugas memakai alat pelindung diri saat melakukan tes malaria dan memberikan pengobatan. Identifikasi kasus dan surveilans dari rumah ke rumah dilakukan dengan tetap menjaga jarak. 

Upaya surveilans migrasi yang ketat dan pemberdayaan JMD selama tiga tahun terakhir ini membuahkan hasil yang sangat mengesankan. Pada 2015, Dinkes Purworejo mencatat sekitar 1400 kasus malaria dalam satu tahun. Mulai 2018, jumlah kasus malaria turun menjadi 189 kasus lokal dan tujuh kasus impor. Pada 2019, kabupaten mencatat 0 kasus lokal dan 26 kasus impor, dan pada 2020 hanya tercatat tujuh kasus impor.

Untuk mempertahankan keberhasilan ini, upaya eliminasi malaria harus terus dilakukan melalui surveilans yang ketat, penyediaan kelambu berinsektisida, insektisida oles (repellent) yang tahan lama, diagnosis yang berkualitas, ketersediaan obat antimalaria, dan petugas JMD yang terlatih. Pemerintah Kabupaten Purworejo berkomitmen untuk mengalokasikan dana dan melibatkan lintas-sektor untuk percepatan eliminasi malaria, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Bupati Purworejo Nomor 17 yang telah diundangkan pada tahun 2019.