Seperti apa surveilans, diagnosis dan pengobatan malaria di masa depan?


Keterangan gambar: Flyer webinar ke-9 dari Annual Malaria Research in Indonesia. Berbagai tantangan dan perspektif tentang program malaria dibahas oleh peneliti nasional dan internasional. Kredit foto: Program Malaria Nasional, 2020.

Seiring dengan kemajuan Indonesia dalam mencapai 75% wilayah negeri ini bebas malaria pada 2024, para ilmuwan dan peneliti berdiskusi di Seminar Annual Malaria Research in Indonesia (AMRI) untuk bertukar wawasan tentang masa depan surveilans, diagnosis, dan pengobatan malaria di Indonesia.

Diselenggarakan secara virtual melalui sepuluh sesi webinar, Seminar AMRI diselenggarakan oleh Sub-direktorat Malaria Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan Persatuan Peneliti Penyakit Parasit Indonesia (P4I), Persatuan Ahli Entomologi Kesehatan Masyarakat Indonesia (PEKI), WHO, dan UNICEF.

Keterangan foto: Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik memaparkan temuan dari tinjauan sistematis penelitian operasional malaria di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2016. Kredit foto: WHO Indonesia, 2020.

Penggunaan aplikasi berbasis daring dan pendekatan berbasis digital dalam program malaria adalah beberapa inovasi yang diusung dalam seminar AMRI. Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Nusa Tenggara Timur memaparkan penggunaan alat penilaian diri (self-assessment) kesiapan malaria versi elektronik dan daring untuk mendukung upaya eliminasi malaria. Dengan alat ini, petugas kesehatan dapat melacak kemajuan program intervensi malaria dari tingkat puskesmas hingga provinsi, untuk mewujudkan daerah bebas malaria.

Staf dinas kesehatan dari Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat mempresentasikan pendekatan surveilans yang inovatif dengan strategi ‘menyerang dan bertahan’ dalam program Bela Kaca (Bebas Malaria, Kampung Bercahaya). Dalam program ini, petugas kesehatan akan meluncurkan intervensi komprehensif atau 'menyerang' selama dua bulan di desa-desa di mana terdapat lima atau lebih kasus malaria. Ketika kasus malaria telah turun menjadi nol, surveilans ketat berbasis masyarakat akan diterapkan, dan komunitas akan menerapkan strategi 1-2-5 apabila ada kasus baru yang ditemukan. Artinya, di hari pertama, kasus malaria diperiksa dan diinformasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Investigasi epidemiologi akan diluncurkan pada hari kedua sebagai dasar intervensi epidemiologi yang akan dilakukan pada hari kelima. Cara ini telah berhasil menurunkan angka kasus malaria dari 1743 kasus pada 2017 menjadi 180 kasus pada 2019.

Pentingnya memahami persepsi masyarakat tentang malaria menjadi sorotan dalam penelitian bertajuk 'Mengapa memahami malaria di Tanah Papua harus diprioritaskan?' yang dipaparkan oleh dr Enny Kenangalem dari Yayasan Pembangunan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP) Timika. Terkait topik serupa, Mara Ipa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes melaporkan analisisnya dari riset kesehatan dasar 2018 tentang heterogenitas praktik pencegahan dan kaitannya dengan infeksi malaria di Indonesia Timur. Studi tersebut menemukan bahwa pria dewasa dengan tingkat pendidikan rendah dan tidak bekerja kemungkinan besar dilaporkan menderita malaria. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian kelambu insektisida untuk melindungi masyarakat dari penularan malaria tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan kasus malaria, jika tidak dilengkapi dengan pesan edukasi yang tepat.

Temuan menarik lainnya yang dipaparkan dalam Seminar AMRI antara lain adalah intervensi berupa penyuluhan individu untuk mencegah kekambuhan malaria Plasmodium vivax dan penelitian I Made Winarta yang menyoroti tingginya prevalensi malaria di kalangan pasukan Tentara Nasional Indonesia di Papua bagian Utara yang memerlukan diagnosis lebih cepat, ketersediaan obat-obatan malaria, pengendalian vektor, dan pendekatan multidisiplin.

Biologi vektor, intervensi pengendalian vektor, dan resistensi insektisida dibahas dalam panel yang diikuti oleh Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC US). Peneliti dari Malaysia membagikan hasil penelitiannya tentang penyemprotan residual di luar ruangan sebagai pengendalian vektor untuk mereduksi kasus Plasmodium knowlesi. Penelitian ini relevan untuk Indonesia karena adanya kekhawatiran seputar penularan malaria di luar ruangan dan kurangnya penelitian yang dilakukan di bidang ini. Peneliti dari Eijkman Institute, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Vektor dan Reservoir (BBPPVRP) Salatiga, Universitas Lampung, Universitas Airlangga dan staf Badan/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP) juga mempresentasikan kajiannya tentang isu-isu seputar vektor malaria. 

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) menghadirkan inovasi bernama 'sistem uji silang mikroskopis digital'. Pemeriksaan uji silang merupakan bagian dari kendali mutu untuk memastikan akurasi pemeriksaan malaria. Ini adalah sistem di mana apusan darah rutin diperiksa ulang keakuratannya oleh laboratorium rujukan daerah atau nasional. Beberapa laboratorium menghadapi kendala dalam melakukan pemeriksaan fisik hasil mikroskopis, antara lain jarak, waktu, dan biaya transportasi pengiriman apusan darah ke Dinas Kesehatan Provinsi atau laboratorium rujukan lainnya. Tim UGM berhasil mengembangkan sistem pemeriksaan uji silang mikroskopis digital untuk mengatasi tantangan tersebut. Dengan pendekatan berbasis digital, ahli mikroskopi di puskesmas dilengkapi dengan alat digital yang dipasang pada mikroskop untuk mengambil gambar mikroskopis parasit malaria dan dilatih menggunakan sistem pemeriksaan uji silang digital. Keberhasilan penerapan metode ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi diagnosis di tingkat kecamatan, berkontribusi pada penjaminan mutu eksternal, dan turut mendukung pemerintah dalam program eliminasi malaria.

Isu pengobatan malaria di Indonesia yang dibahas dalam Seminar AMRI adalah potensi baru terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) untuk pengobatan lini kedua dan kandidat ACT baru untuk menggantikan obat yang saat ini digunakan dalam program malaria, yaitu dihydroartemisinin piperaquine (DHA- PPQ), yang telah digunakan selama lebih dari 15 tahun dan menunjukkan tren peningkatan kegagalan pengobatan lambat.

Dua webinar terakhir membahas masa depan malaria di Indonesia untuk mewujudkan eliminasi malaria pada tahun 2030. Diskusi yang produktif berlangsung antara WHO, peneliti internasional dari Menzies School of Health Research, Australia dan University of Notre Dame, AS, dan peneliti nasional tentang tantangan mencapai eliminasi malaria di Indonesia. Di antara tantangan utama adalah beban tinggi parasit yang tersembunyi di hati untuk P. vivax, penduduk yang hidup berpindah-pindah, dan intervensi penularan di luar ruangan.

Setelah tujuh tahun menerapkan sertifikasi daerah bebas malaria dari tingkat kabupaten, Program Nasional Pengendalian Malaria dan perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah dan Jambi berbagi pembelajaran dan tantangan mereka dalam mendukung kabupaten untuk mencapai proses sertifikasi bebas malaria yang sukses dan memastikan adanya data dan dokumentasi yang diperlukan sebagai bukti bahwa tidak ada transmisi lokal di kabupaten ini dalam tiga tahun terakhir berturut-turut.

Sesi terakhir Seminar AMRI ditutup secara resmi oleh Direktur Penyakit Menular Langsung Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi dengan penekanan untuk terus mendorong kerja sama yang sangat baik antara program malaria dengan komunitas peneliti, serta organisasi profesi dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti.