Indonesia menghadapi tantangan terbatasnya jumlah tenaga kesehatan lingkungan dalam angkatan kerja, sementara jumlah perusahaan pangan terus bertambah. Pertumbuhan ini menyebabkan meningkatnya permintaan konsumen akan jaminan keamanan pangan. Akibatnya, hal ini mendorong kebutuhan untuk pengendalian dan pemantauan yang lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan pengawasan terhadap keamanan pangan siap saji melalui berbagai mekanisme, termasuk pemeriksaan dan pembinaan oleh tenaga kesehatan lingkungan di tingkat Puskesmas. Para tenaga kesehatan lingkungan ini bertanggung jawab memastikan terpenuhinya standar kebersihan dan sanitasi pangan di restoran, pedagang kaki lima, dan kantin. Mereka memainkan peran penting dalam inspeksi keamanan pangan dan bertanggung jawab melakukan inspeksi terhadap TPP, menilai kepatuhan terhadap peraturan keamanan pangan, mengidentifikasi potensi bahaya, dan merekomendasikan tindakan perbaikan. Tenaga Kesehatan Lingkungan juga memberikan panduan dan pendidikan kepada penjamah pangan tentang praktik penanganan pangan yang benar, standar sanitasi, dan strategi mitigasi risiko.Pangan siap saji di sebuah warung di Cirebon. Kredit: Dinas Kesehatan Kota Cirebon/M. Anes.
Terlepas dari peran penting para tenaga kesehatan lingkungan, data Bappenas pada 2023 menunjukkan hanya 65% dari TPP yang terdaftar dilakukan pemeriksaan terhadap peraturan atau menerima panduan tentang penyehatan lingkungan. Hal ini terutama disebabkan sedikitnya jumlah tenaga kesehatan lingkungan jika dibandingkan dengan banyaknya pedagang pangan. Menanggapi hal tersebut, WHO memperkenalkan konsep IPBR ke Indonesia pada tahun 2020. Pendekatan IPBR memprioritaskan inspeksi dan upaya sesuai standar berlaku berdasarkan tingkat risiko yang ditimbulkan TPP, dengan memfokuskan sumber daya pada area dengan risiko lebih tinggi untuk memastikan keamanan pangan. Penerapan IPBR memungkinkan seleksi sistematis yang menyaring masalah kesehatan masyarakat berisiko tinggi dan signifikan. Hal ini pada akhirnya menghasilkan alokasi dan pengelolaan sumber daya yang efisien, termasuk anggaran inspeksi dan sumber daya manusia.
Dengan menerapkan strategi ini, Kemenkes diharapkan dapat meningkatkan keamanan pangan siap saji, sehingga memberikan jaminan lebih tinggi kepada konsumen mengenai keamanan pangan.
Staf Kemenkes menjelaskan pentingnya inspeksi pangan berbasis risiko. Kredit: Dinas Kesehatan Kota Balikpapan
Pada 2021, Indonesia mengadopsi IPBR. Sepanjang 2022-2023, upaya penerapannya terfokus pada uji coba pedoman nasional di lima kabupaten/kota. Program percontohan ini mencakup 159 Puskesmas di seluruh wilayah tersebut, dengan penilaian risiko terhadap 3.681 TPP, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1. Upaya kolaboratif antara WHO dan Kemenkes mencakup penyelenggaraan sesi pelatihan, lokakarya, dan pemberian bantuan lapangan dalam mengembangkan profil inspeksi. Untuk meningkatkan efisiensi, sebuah kalkulator risiko yang menggabungkan risiko pangan dan bisnis telah dibuat, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. Hasil dari percontohan ini telah memberdayakan para sanitarian untuk menentukan frekuensi inspeksi pada TPP. TPP yang tergolong berisiko tinggi akan menjalani inspeksi dua kali setahun, sedangkan TPP berisiko sedang diperiksa setiap tahun, dan TPP berisiko rendah diperiksa setiap dua tahun.
Gambar 1. Jumlah TPP yang dinilai di 5 kabupaten/kota.
Gambar 2. Kalkulator risiko untuk membantu tenaga kesehatan lingkungan.
Hasilnya, semua wilayah intervensi kini mempunyai profil IPBR yang membantu mereka memprioritaskan kegiatan inspeksi. Selain itu, uji coba ini telah menghasilkan perbaikan signifikan dalam teknik pemeriksaan keamanan pangan dan meningkatkan pengetahuan keamanan pangan di antara 159 tenaga kesehatan lingkungan, dari 60% menjadi 76%.
Secara keseluruhan, inisiatif IPBR WHO Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam meningkatkan langkah-langkah keamanan pangan. Melalui program percontohan, inisiatif ini berhasil mengidentifikasi risiko dan mengembangkan profil inspeksi. Pengenalan kalkulator risiko memfasilitasi penilaian otomatis, sehingga menyederhanakan proses inspeksi. Dengan ditetapkannya profil IPBR di kelima kabupaten/kota, inspeksi mendatang dapat diprioritaskan secara efektif. Selain itu, inisiatif ini terbukti dapat meningkatkan kapasitas dan pemahaman tentang keamanan pangan dan teknik inspeksi di kalangan tenaga kesehatan lingkungan.
Staf Kemenkes, WHO, dan Dinas Kesehatan melakukan pemantauan di Kabupaten Bangka Tengah. Kredit: WHO/Indah Deviyanti
“Dengan menerapkan inspeksi pangan berbasis risiko, kita dapat secara strategis mengalokasikan anggaran untuk kegiatan keamanan pangan yang tidak hanya tepat, tetapi juga efektif dan efisien. Pendekatan ini menyederhanakan pekerjaan para tenaga kesehatan lingkungan, memungkinkan mereka melakukan pemeriksaan kesehatan lingkungan dengan lebih mudah dan tepat," kata Drg. Muhammad Anas Ma'ruf, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bangka Tengah, saat lokakarya nasional sosialisasi hasil percontohan.
IPBR sangat penting bagi masyarakat umum karena menjamin keamanan dan kualitas makanan yang mereka konsumsi. Pendekatan ini memungkinkan pihak berwenang mengidentifikasi dan memprioritaskan penjual dan perusahaan makanan berisiko tinggi yang perlu diinspeksi dan diintervensi. Selain itu, IPBR memungkinkan alokasi sumber daya yang efisien, mengoptimalkan efektivitas kegiatan keamanan pangan dan meningkatkan hasil kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Pada akhirnya, pendekatan ini meningkatkan kepercayaan terhadap sistem pangan, memberdayakan konsumen untuk membuat pilihan yang tepat, dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi semua orang.
WHO mendampingi pengawas pangan dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon untuk menghitung risiko usaha pangan tersebut. Kredit: Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon
Sebagai bagian dari dukungan berkelanjutan kami, WHO akan membantu mengembangkan pendekatan lokal yang mencakup berbagai sumber makanan, termasuk pangan siap saji dan pangan segar dari berbagai sumber seperti ikan, hewan, dan tumbuhan, serta pangan olahan. Pendekatan inklusif ini bertujuan membangun sinergi dan keselarasan prioritas rencana inspeksi nasional di berbagai sektor. Dengan mempertimbangkan berbagai jenis makanan, tujuannya adalah memastikan inspeksi yang komprehensif dan efektif, sehingga keamanan pangan meningkat dan kesehatan masyarakat terlindungi.
Ditulis oleh Indah Deviyanti, National Professional Officer (Environmental Health and Climate Change), WHO Indonesia