Ambu Itoh masih ingat saat putranya, Santa, terserang campak pada umur lima tahun. “Parah sekali,” ujarnya, sambil menggelengkan kepala. “Seluruh badannya merah.” Meskipun Santa segera pulih, pengalaman tersebut memberikan bekas mendalam. Kejadian itu memperkuat tekad Itoh untuk memastikan tidak hanya putranya, tetapi setiap anak di Kanekes – sebuah desa suku Baduy yang cukup terpencil di Provinsi Banten – dapat terlindung dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Pada 30 April 2025, tekad inilah yang membuat Itoh – dengan sejumlah ibu sesuku lain –berkumpul di sebuah rumah bambu tradisional untuk mengikuti sesi penyuluhan imunisasi, dalam rangkaian kegiatan Pekan Imunisasi Dunia Indonesia. Diadakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dengan dukungan dari Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO), dan UNICEF, kegiatan ini bertujuan membangun rasa percaya pada vaksin serta meningkatkan akses di daerah-daerah dengan cakupan rendah.
Ambu Itoh (30) adalah satu dari sejumlah ibu di suku Baduy yang megikuti sesi penyuluhan imunisasi selama Pekan Imunisasi Dunia. Pengalamannya terkait infeksi campak Santa memperkuat keputusannya untuk memastikan imunisasi lengkap bagi anak-anak di lingkungannya. (WHO/Fieni Aprilia)
Setelah acara talk show kecil di kegiatan tersebut, Dr Piprim Basarah Yanuarso, Ketua IDAI, menjelaskan peran penting orang tua dalam melindungi kesehatan anak-anak mereka.
“Imunisasi adalah hak setiap anak, terutama dalam seribu hari pertama kehidupan,” katanya. “Dengan lebih dari 5.400 dokter anak di seluruh Indonesia, IDAI berkomitmen penuh untuk mendukung upaya nasional ini. Namun, kami membutuhkan kerja sama setiap orang – dari tenaga kesehatan hingga orang tua – sehingga tidak ada anak yang terlewat.”
Jarak, pekerjaan, dan kekhawatiran: Menavigasi tradisi dan akses
Kanekes menjadi rumah bagi sekitar 12.000 orang Baduy. Masyarakat Baduy Dalam memiliki adat yang ketat dan menerapkan jalan hidup yang tradisional. Baduy Luar tinggal di area-area yang lebih terjangkau dan perlahan mulai memasukkan aspek-aspek kehidupan modern, termasuk imunisasi.
Meskipun Provinsi Banten telah melebihi sasaran imunisasi nasional yaitu 95%, cakupan di Kabupaten Lebak – di mana Kanekes berada – masih belum merata. Hanya 80% anak-anak yang telah menerima dosis pertama vaksin DPT-HB-Hib.
Salah satu jalur utama di Desa Kanekes, Provinsi Banten, tempat masyarakat Baduy Luar menjual makanan, hasil bumi, dan berbagai kerajinan tangan. (WHO/Fieni Aprilia)
Salah satu alasan kesenjangan ini adalah infrastruktur setempat. Dusun tempat tinggal Itoh merupakan salah satu dari 68 dusun di Kanekes yang dilayani oleh Puskesmas Cisimeut. Lima belas bidan mendukung kesehatan ibu dan anak di enam desa, di mana sembilan di antaranya berfokus pada Kanekes. Meskipun sistem ini mencakup wilayah yang luas, tidak adanya kader posyandu menimbulkan tantangan-tantangan, di mana peran-peran tersebut dijalankan oleh sukarelawan.
Bagi sebagian keluarga, kehidupan di ladang lebih diutamakan. Keluarga-keluarga setempat dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan – atau bahkan tahunan – tanpa pulang ke dusunnya untuk mengurus tanaman panen. Kunjungan tenaga kesehatan, meskipun penting, sering kali dikesampingkan.
Kekhawatiran akan kejadian ikutan pasca-imunisasi menambah keraguan ini. Jika seorang anak sakit setelah menerima vaksin, orang tua khawatir anak tersebut tidak dapat ikut mereka ke ladang, mengancam mata pencaharian yang membutuhkan setiap pasang tangan untuk bekerja.
Namun, sebagian orang tua menerjang kekhawatiran-kekhawatiran ini. Ambu Alis, 25 tahun, adalah salah satunya. Seperti Itoh, ia memastikan semua anak-anaknya diimunisasi.
Meskipun anaknya mengalami demam setelah imunisasi, Ambu Alis tetap berkomitmen melengkapi imunisasi anaknya sesuai jadwal. Bagi Alis, imunisasi adalah bagian dari menjaga masyarakat Baduy secara keseluruhan, di mana semua orang dipandang sebagai keluarga. (WHO/Fieni Aprilia)
“Saya belajar semuanya ini dari kehidupan,” ujarnya, dengan rasa bangga yang terpendam. Meskipun anak bungsunya, Alga, mengalami demam ringan setelah menerima salah satu vaksin – efek samping yang umum terjadi – kebulatan hatinya tidak terguncang. “Alga akan disuntik lagi, dan jika perlu, saya siap tidak tidur sepanjang malam.”
Bagi Alis, imunisasi mencerminkan salah satu nilai utama masyarakat Baduy: tanggung jawab bersama. “Tergantung orangnya mau atau tidak,” katanya. “Tetapi, bagi kami, semua orang adalah keluarga – tidak hanya penduduk dusun, tetapi di desa-desa lain juga.”
Dari rumah hingga dusun bagi kesehatan untuk semua
Rasa tanggung jawab bersama itulah yang menjadi inti upaya imunisasi Indonesia. Dengan arahan Program Imunisasi Nasional Kementerian Kesehatan dan Strategi Imunisasi 2025–2029, Indonesia bekerja meningkatkan cakupan vaksin, mengurangi jumlah dosis yang terlewat, dan memperluas penjangkauan ke populasi-populasi dengan cakupan rendah.
WHO, bersama UNICEF dan mitra-mitra lain, terus mendukung upaya-upaya ini melalui bantuan teknis, pembangunan kapasitas, dan panduan yang disesuaikan dengan konteks setempat.
“Penguatan imunisasi bukan hanya sebatas mengirimkan vaksin – melainkan menggandeng masyarakat,” kata Stephen Chacko, Team Lead for Immunization di WHO Indonesia, dalam penyuluhan di Kanekes.
“Kegiatan-kegiatan seperti ini penting untuk membangun rasa percaya, mendengarkan kekhawatiran, dan membantu keluarga-keluarga merasa yakin dapat melindungi anak-anak mereka. Pelibatan masyarakat merupakan fondasi untuk menjembatani kesenjangan dan mencapai kesehatan bagi semua.
Di tempat-tempat seperti Kanekes, komitmen keluarga, dengan dukungan layanan yang responsif dan koordinasi nasional, membantu menjadikan imunisasi suatu tanggung jawab bersama, yang membuahkan keberhasilan bersama.
Ditulis oleh Fieni Aprilia, Digital Communications Officer, WHO Indonesia