Sasaran WHO untuk mengurangi kejadian malaria global dan tingkat kematian sebesar 90% pada tahun 2030 membutuhkan upaya yang ditargetkan dan fokus pada kesetaraan dan hak asasi manusia. Di Indonesia, kasus malaria banyak ditemukan baik di masyarakat pedesaan maupun penduduk di daerah terpencil.
Di daerah endemis sedang hingga tinggi di Indonesia, anak balita dan ibu hamil di masyarakat pedesaan adalah yang paling rentan. Di daerah endemis rendah, kasus malaria lebih banyak terjadi pada laki-laki usia subur karena faktor pekerjaan dan geografis. Misalnya, pekerja hutan, penambang tanpa dokumen, dan masyarakat adat yang tinggal di daerah terpencil. Agar eliminasi malaria nasional tercapai, kita perlu mengakses komunitas tersebut dan menggunakan lensa keadilan untuk menemukan hambatan serta solusinya.
Untuk lebih memahami tantangan ini, Program Pengendalian Malaria Nasional (PPMN), dengan dukungan dari WHO, the Global Fund, dan RBM Partnership to End Malaria, melakukan kajian Komunitas, Hak Asasi Manusia, dan Gender (CRG) pada Januari 2023. Kajian dilakukan di Kabupaten Mimika, Papua, yang memiliki 132.547 kasus malaria pada 2022 dan merupakan daerah endemik tinggi, serta Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, yang mencatatkan 638 kasus dan merupakan daerah endemik rendah. Kajian ini melibatkan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (FGD) dengan tokoh masyarakat, penyedia layanan kesehatan, pekerja, lelaki dan perempuan yang terkena infeksi malaria baru-baru ini (termasuk perempuan hamil), serta remaja laki-laki dan perempuan. Pendekatan kajian ini selaras dengan Pedoman WHO untuk Malaria, Malaria Matchbox Tool dari RBM, dan Technical Brief dari Global Fund.
Diskusi kelompok terarah tentang komunitas, hak asasi manusia, dan gender dalam konteks malaria di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Kredit: Dinkes Kabupaten Paser.
Beberapa hambatan dalam eliminasi malaria di kedua kabupaten diidentifikasi. Pertama-tama, malaria tidak dilihat sebagai penyakit serius, yang menyebabkan perilaku pencarian kesehatan yang buruk dan kepatuhan pengobatan pada laki-laki. Dibandingkan dengan pria, perempuan dan anak-anak lebih cenderung tidur di bawah kelambu berinsektisida tahan lama, yang melindungi mereka dari malaria. Namun, melalui FGD di Timika, kami menemukan ibu hamil yang mencari pengobatan malaria harus mendapatkan izin dari suaminya karena kekhawatiran obat dapat membahayakan bayi mereka. Ini menunjukkan hambatan terkait gender dan pengetahuan.
“Kalau anak saya sakit, biasanya istri akan telepon saya, dan saya biarkan mereka pergi ke fasilitas kesehatan. Tapi kalau istri saya yang sakit, saya ingin dia menunggu saya kembali dari ladang sebelum pergi ke klinik,” kata petani laki-laki Kabupaten Paser yang mengikuti FGD. Menurutnya, anak-anak lebih lemah saat sakit sehingga harus cepat ditangani. Sedangkan orang dewasa cenderung dapat menahan rasa sakit dan ketidaknyamanan, oleh karena itu ia ingin istrinya menunggunya, sehingga ia dapat menemaninya ke klinik.
Perjalanan menuju lokasi kajian di Kabupaten Paser. Kredit: WHO/Ajib Diptyanusa.
Sementara itu, karena lokasi kerja mereka, upah rendah dan kurangnya peraturan tentang jam kerja, penduduk berpindah dan migran memiliki akses terbatas ke layanan perawatan kesehatan, serta sering menggunakan pengobatan sendiri atau praktisi pengobatan tradisional yang tidak terlatih. Kegiatan penebangan dan pembangunan ibu kota baru yang masif diyakini memicu wabah malaria di Kabupaten Paser pada 2022. Di sisi lain, kader malaria yang terlatih mendapat tunjangan yang tidak memadai, sehingga sulit untuk memotivasi dan mempertahankan mereka, terutama di daerah terpencil. Sementara itu, kelompok rentan biasanya tidak dikonsultasikan dalam program perubahan sosial dan perilaku. Pentingnya CRG dalam kaitannya dengan akses intervensi juga belum banyak dipahami di masyarakat.
Berdasarkan penilaian tersebut, sangat penting bagi program penanggulangan malaria untuk memperkuat pendekatan yang berpusat pada masyarakat dalam eliminasi malaria yang inklusif dan adil. Pemimpin harus memprioritaskan daya tanggap budaya dan pertimbangan gender dalam semua tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Ini termasuk memastikan akses ke layanan kesehatan untuk semua dan mengatasi faktor penentu sosial kesehatan, sambil mengintegrasikan penilaian CRG dan alat terkait lainnya dalam proses pemantauan untuk membuat program dan solusi berbasis bukti. Semua upaya harus mematuhi pedoman internasional dan nasional untuk memastikan penyediaan tindakan pencegahan dan perhatian terhadap kelompok rentan. Selain itu, program harus memberikan kompensasi dan dukungan yang adil bagi kader malaria.
Temuan kajian telah dibagikan kepada PPMN dan pemangku kepentingan terkait untuk mengembangkan strategi dan intervensi yang efektif. Rencana Aksi Nasional Malaria 2020-2026 memasukkan temuan kajian ini, serta bertujuan menghilangkan hambatan yang ada. Pelaksanaan rencana aksi ini diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pelayanan, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan mengurangi beban malaria di daerah endemik tinggi sekaligus mempercepat eliminasi malaria di daerah endemik rendah. Dengan demikian, setiap anggota masyarakat yang terkena malaria tidak akan tertinggal di belakang.
Peserta diskusi kelompok terarah di Kabupaten Mimika, Papua. Kredit: WHO/Alegra Wolter.
Kegiatan ini didukung oleh Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria.
Ditulis oleh dr. Ajib Diptyanusa, National Consultant for Malaria; dr. Herdiana Hasan Basri, National Professional Officer for Malaria; dan dr. Alegra Wolter, National Professional Officer for Gender, Equity, and Human Rights, WHO Indonesia.