Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), World Health Organization (WHO), dan mitra-mitra utama bersiap menjalankan tahap akhir upaya bersama eliminasi penyakit kaki gajah atau lymphatic filariasis (LF), kusta, dan frambusia, berdasarkan rekomendasi kajian ranah nasional pada 19–26 Agustus 2024. Kajian ini merupakan kajian pertama di Kawasan WHO Asia Tenggara untuk menanggulangi tiga penyakit tropis terabaikan atau neglegted tropical diseases (NTD) terkait kulit sekaligus, yang menyerang terutama komunitas-komunitas di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau.
Pada 2023, sebanyak 168 kabupaten/kota endemik LF di Indonesia telah menyelesaikan dan menghentikan pemberian obat pencegahan massal (POPM) karena mencapai cakupan yang memadai selama lima tahun berturut-turut. Jangka waktu ini diperlukan untuk menghentikan penyebaran. Pada 2023, Indonesia melaporkan total sebanyak 7.955 kasus LF, dan 68 kabupaten/kota endemik masih terus menjalankan kegiatan POPM. Sebanyak 45 di antara ke-68 kabupaten/kota tersebut masih menunggu verifikasi untuk menghentikan POPM.
Namun, pada tahun yang sama, Indonesia melaporkan 14.376 kasus kusta baru, jumlah terbesar ketiga di dunia. Sebanyak 8,2% di antaranya terjadi pada anak-anak dan 6% melibatkan disabilitas tingkat 2. Hal ini mengindikasikan penyebaran penyakit masih terjadi dan keterlambatan diagnosis. Pada 2023, Indonesia melaporkan hanya 68 kasus frambusia, dan 257 dari 514 kabupaten/kota telah dipastikan bebas dari frambusia.
“Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah mencetak kemajuan penting terhadap penyakit NTD terkait kulit tetapi masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau,” kata dr. Yudhi Pramono, MARS, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes Republik Indonesia. “Saya percaya kajian ini akan memperkuat kolaborasi lintas sektor dan juga membantu pemanfaatan teknologi dalam perjalanan kita selanjutnya menuju target-target NTD 2030.”
Tim pengkaji mengunjungi seorang pasien dengan limfedema dan memeragakan prinsip mendasar tata laksana kesakitan dan pencegahan disabilitas (WHO/Agrin Zauyani Putri)
“Saat ini, Indonesia memiliki kesempatan yang sangat baik untuk melanjutkan momentumnya, mengatasi tantangan-tantangan yang ada maupun baru, dan mengeliminasi NTD ini dan penyakit NTD lainnya,” kata Dr Momoe Takeuchi, Deputi Perwakilan WHO untuk Indonesia. “Dengan pendekatan yang lebih terintegrasi – sesuai agenda transformasi kesehatan Indonesia – bersama-sama kita dapat memastikan tidak ada orang maupun komunitas yang tertinggal.”Di antara rekomendasi-rekomendasi awal yang terpenting, para pengkaji menyoroti pentingnya mengintegrasikan NTD ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) 2025–2029. Mereka juga menekankan pentingnya memperkuat sumber daya finansial dan manusia, menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung, mengintegrasikan pemantauan dan pelaporan NTD ke dalam sistem kesehatan nasional, dan memperkuat pelatihan dan pengawasan atas sumber daya manusia yang sudah ada.
Tim pengkaji di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, menilai ketersediaan dan pengelolaan rantai pasokan obat terapi kombinasi (multidrug therapy) (WHO/Agrin Zauyani Putri)
Rekomendasi lain meliputi meningkatkan pelibatan komunitas, memastikan tambahan pendanaan untuk deteksi kasus aktif dan pelacakan kontak, dan memastikan keberlanjutan sumber daya untuk POPM, pelatihan, dan surveilans laboratorium.
Setelah difinalisasi dan ditindaklanjuti, rekomendasi-rekomendasi ini
dan rekomendasi lainnya akan membantu Indonesia mengeliminasi LF, kusta, dan frambusia;
mencapai target-target NTD 2030; dan mewujudkan masa depan di mana setiap
kelompok masyarakat bebas dari penyakit yang menyebabkan kelumpuhan tetapi dapat dihindarkan ini.
Kajian ranah nasional ini
didukung oleh Sanofi, Sasakawa Health Foundation, dan pemerintah Amerika
Serikat melalui USAID.