Jakarta, 12 Oktober 2022
Antimikroba digunakan untuk mencegah, mengendalikan dan mengobati penyakit menular pada manusia, hewan dan tumbuhan, tetapi semakin tidak efektif. Ada sangat sedikit obat baru yang sedang dikembangkan. Sebagai akibat dari resistensi antimikroba (AMR), infeksi menjadi sulit atau tidak mungkin diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit parah dan kematian, serta membalikkan kemajuan ilmu kedokteran. Kerugian ekonomi global akibat AMR diperkirakan sekitar $100 triliun pada 2050. AMR adalah ancaman yang mempengaruhi kita semua.
Wakil Menteri Kesehatan Indonesia menjuluki AMR sebagai pandemi senyap, karena Indonesia termasuk dalam lima negara dengan perkiraan peningkatan persentase konsumsi antimikroba tertinggi pada 2030. WHO juga telah mendeklarasikan AMR sebagai salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global yang dihadapi umat manusia.
"Kebutuhan laboratorium yang tersebar merata di Indonesia belum terpenuhi, sehingga banyak antibiotik diberikan tanpa tahu persis penyebab penyakitnya. Meski data terbatas, terlihat jelas terdapat peningkatan masalah AMR di Indonesia," ujar Dr. Anis Karuniawati, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan RI.
Menurutnya, tiap tahun terjadi peningkatan prevalensi bakteri resisten antibiotik yang menjadi penyebab infeksi, terutama infeksi berat, misalnya radang paru-paru dan sepsis. Pada 2019, prevalensi dua jenis bakteri yang resisten terhadap sefalosporin generasi 3 mencapai lebih dari 60%.
Mukta Sharma, Technical Officer (AMR) WHO Indonesia menyoroti bahwa penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan pada manusia, hewan dan tumbuhan mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR di seluruh dunia. Sebuah studi global memperkirakan bahwa lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara pada tahun 2019 secara langsung atau tidak langsung karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
“Orang yang terkena AMR harus menghadapi penyakit berkepanjangan, durasi pengobatan lebih lama, tantangan kesehatan mental, stigma sosial, dan beban keuangan yang tinggi. Ini bisa kita hindari kalau kita beraksi bersama sekarang. Kita harus melakukan ini kalau ingin melindungi generasi berikutnya,” katanya.
Penggunaan antimikroba di bidang pertanian berkontribusi menyebarkan AMR, yang dapat menyebabkan kerugian produksi, merusak mata pencaharian, dan membahayakan ketahanan pangan. “AMR dapat menyebar di antara inang dan lingkungan yang berbeda, dan mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba dapat mencemari rantai makanan,” kata Luuk Schoonman, Country Team Leader FAO ECTAD Indonesia.
FAO memperkirakan hanya dalam satu dekade, jika tidak ditangani, AMR dapat memaksa 24 juta lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, serta meningkatkan kelaparan dan kekurangan gizi. “Sangat penting untuk memprioritaskan koordinasi, kolaborasi, dan komunikasi melalui pendekatan One Health untuk mengendalikan ancaman AMR di Indonesia,” tambahnya.
One Health adalah pendekatan menyeluruh yang mengakui kesehatan hewan, manusia, tumbuhan, dan lingkungan sebagai satu kesatuan tak terpisahkan dan saling bergantung. Untuk menekan AMR secara efektif, semua sektor harus menggunakan antimikroba secara hati-hati dan mengadopsi langkah-langkah pencegahan lainnya. Namun, kita harus bertindak sekarang, tidak menunggu sampai AMR menjadi lebih buruk dan mempengaruhi lebih banyak orang di dunia. Respon One Health terhadap AMR akan membantu menyelamatkan jutaan nyawa, melestarikan antimikroba selama beberapa generasi, dan mengamankan masa depan dari patogen yang resistan terhadap obat.
Tindakan berikut dapat membantu mengurangi kebutuhan akan antimikroba dan meminimalkan munculnya AMR:
- memastikan penggunaan antibiotik secara rasional yang mengakui mereka sebagai sumber daya berharga
- memperkuat pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan, peternakan dan tempat industri makanan
- memastikan akses ke air bersih, sanitasi dan kebersihan
- memastikan akses ke vaksinasi untuk penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin
- menerapkan praktik terbaik dalam produksi pangan, perikanan, dan pertanian
***
Tentang WHO
Didedikasikan untuk kesejahteraan semua orang dan dipandu oleh sains, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memimpin dan memperjuangkan upaya global untuk memberi semua orang, di mana pun mereka berada, kesempatan sama untuk hidup yang aman dan sehat. Kami adalah badan PBB untuk kesehatan yang menghubungkan negara, mitra, dan orang-orang di garis depan di lebih dari 150 negara. WHO memimpin respons dunia terhadap darurat kesehatan, mencegah penyakit, mengatasi akar penyebab masalah kesehatan, dan memperluas akses ke obat-obatan dan perawatan kesehatan. Misi kami adalah mempromosikan kesehatan, menjaga dunia tetap aman, dan melayani yang rentan. https://www.who.int
Program AMR di WHO Indonesia didukung oleh Kerajaan Arab Saudi dan Multi Partners Trust Fund (MPTF).
Narahubung media: Tim Komunikasi WHO, seinocomm@who.int.
Tentang FAO
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) adalah badan khusus PBB yang memimpin upaya internasional untuk mengatasi kelaparan. Tujuan FAO adalah untuk mencapai ketahanan pangan untuk semua dan memastikan bahwa orang memiliki akses reguler ke makanan berkualitas tinggi yang cukup untuk menjalani kehidupan yang aktif dan sehat. Dengan lebih dari 194 negara anggota, FAO bekerja di lebih dari 130 negara di seluruh dunia. Indonesia menjadi anggota FAO pada tahun 1948. Kerja sama antara FAO dan Indonesia di sektor pangan dan pertanian, termasuk perikanan dan kehutanan telah menguat selama beberapa dekade. Hingga saat ini, lebih dari 750 proyek dan program telah dilaksanakan oleh FAO di seluruh Indonesia dengan bantuan lebih dari 2000 tenaga ahli dan konsultan baik nasional maupun internasional.
Tentang FAO Emergency Center for Transboundary Diseases (ECTAD) Indonesia
FAO ECTAD adalah pusat darurat yang didirikan pada 2004 untuk membantu negara-negara anggota dalam menanggapi krisis yang disebabkan oleh penyakit hewan lintas batas. Ancaman terus-menerus dari High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) terhadap kesehatan hewan dan manusia di Indonesia membawa FAO ECTAD ke Indonesia pada 2006. FAO ECTAD saat ini terus bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk mendukung pengendalian HPAI dan penyakit zoonosis endemik lainnya, sementara juga berfokus pada ancaman kesehatan global baru atau yang muncul kembali, yang “melimpah” ke manusia dari populasi hewan.
Narahubung media: Siska Widyawati, Communication Specialist - FAO Representation in Indonesia (0878 8488 5489; siska.widyawati@fao.org)