Pada November 2024 hingga Januari 2025, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) dan World Health Organization (WHO) memulai survei nasional pertama di Indonesia yang bertujuan mengatasi kekebalan terhadap obat antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) pada infeksi aliran darah (IAD). AMR pada IAD merupakan salah satu fokus inti Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System WHO dan indikator penting Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Survei ini menandakan sebuah langkah maju penting dalam upaya menangani ancaman-ancaman kesehatan dan pembangunan terbesar Indonesia dan dunia.
Di tingkat global, pada tahun 2019 AMR diperkirakan menyebabkan 1,27 juta kematian dan turut berkontribusi pada 4,97 juta kematian. Penyalahgunaan dan penggunaan berlebih obat antimikroba pada manusia, hewan, dan tumbuhan adalah pendorong utama berkembangnya patogen-patogen kebal obat, yang jauh lebih berdampak pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Pada 2030, Indonesia diproyeksikan menjadi satu dari lima negara dengan peningkatan persentase konsumsi antimikroba terbesar di dunia.
Sejak 2017 Indonesia telah menerapkan rencana multisektoral nasional untuk mengatasi AMR dan tahun lalu menerbitkan rencana pengendalian AMR sektor kesehatan manusia pertama di dunia berdasarkan pendekatan yang berpusat pada masyarakat (people-centred approach) WHO. Namun, jaringan rumah sakit perawatan akut Indonesia, dengan lebih dari 3.000 rumah sakit, terus mengalami hambatan surveilans dan kelengkapan data, yang menunjukkan pentingnya inisiatif bersama Kemenkes dan WHO ini.
“Informasi yang kita peroleh dari survei ini penting untuk mempertajam protokol pengobatan kita dan membentuk respons kebijakan yang efektif terhadap AMR,” ujar dr. Maria Endang Sumiwi, M.P.H., Direktur Jendral Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes, dalam acara peluncuran pada 27 November 2024 di Jakarta.
Survei ini mencakup 80 rumah sakit dan 30 laboratorium di 25 kabupaten/kota dari 16 provinsi, dengan sasaran sekitar 10.000. Peneliti memperkirakan akan terdapat sekitar 1.000 kultur darah yang positif dan 270 IAD yang terkonfirmasi. Grup kontrol yang terdiri dari 1.000 pasien tanpa infeksi akan menjadi tolok ukur penilaian dampak kesehatan dan ekonomi dari AMR.
Penguatan kapasitas laboratorium dan surveilans nasional merupakan salah satu komponen penting dalam proyek ini. Hingga saat ini, lebih dari 270 tenaga kesehatan di seluruh Indonesia telah dilatih menjalankan metodologi survei ini, teknik kultur darah, dan tes kepekaan antimikroba, dengan dukungan besar dari pakar-pakar WHO yang berbasis di Thailand. Pada Januari 2025, Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat Surabaya menyambut 30 tenaga laboratorium sebagai peserta pelatihan intensif praktik yang berfokus pada pengendalian mutu.
“Survei AMR IAD ini penting bagi upaya-upaya Kemenkes dan WHO dalam membangun sistem surveilans nasional yang berkelanjutan dan komprehensif, yang mampu memantau infeksi peka obat maupun resistan obat,” kata Profesor Roderick Salenga, kepala tim Health Systems WHO Indonesia. “Bukti-bukti yang terkumpul akan secara langsung mengarahkan penyusunan pedoman pengobatan dan kebijakan kesehatan yang lebih efektif, sehingga Indonesia tidak hanya beradaptasi dengan tantangan AMR melainkan juga aktif berupaya menghentikan penyebarannya.”
Pengumpulan data AMR IAD akan terus berlanjut selama tahun 2025, yang dapat memberikan pemahaman penting tentang pola-pola resistansi dan dampak ekonominya di seluruh Indonesia. Survei ini akan melengkapi serta mengarahkan upaya jangka menengah dan panjang Kemenkes dan WHO dalam menanggulangi AMR, khususnya terkait protokol pengobatan, penguatan kesiapan rumah sakit, dan pembentukan kebijakan kesehatan masyarakat yang responsif. Dengan demikian, Indonesia akan terus menjadi pemimpin di tingkat global dalam memerangi salah satu ancaman terbesar kesehatan dan pembangunan umat manusia, demi sistem kesehatan yang lebih kuat dan perawatan pasien yang lebih baik.
_______________________________________________________________________________________
Ditulis oleh Nora Arista, National Professional Officer (AMR), WHO Indonesia