Pada 28–30 April 2025, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) dan World Health Organization (WHO) mengadakan loka karya nasional di Semarang, Jawa Tengah, untuk mengkaji implementasi surveilans kolaborasi menggunakan data dari berbagai sumber atau multisource collaborative surveillance (MSCS) untuk dengue, yang merupakan suatu ancaman kesehatan akut nasional dan global yang terus meningkat.
Loka karya ini merupakan langkah akhir dalam enam bagian kerangka MSCS, menjadikan Indonesia negara pertama di Kawasan WHO Asia Tenggara yang merampungkan keseluruhan siklus MSCS dengue. MSCS adalah pendekatan sistematis yang menggabungkan data dari berbagai sektor – kesehatan, iklim, entomologi, dan penanggulangan bencana – untuk membangun gambaran lebih lengkap tentang ancaman kesehatan dan memandu pengambilan keputusan yang lebih cepat dan efektif.
Hingga pertengahan tahun 2024, dengue meningkat hingga hampir 150.000 kasus dan 884 kematian di seluruh Indonesia. Provinsi Jawa Tengah adalah salah satu provinsi paling terdampak, dengan 17.636 kasus dan 144 kematian pada tahun tersebut. Kemenkes memilih Jawa Tengah untuk menguji coba MSCS pada April 2024, bekerja sama dengan WHO dan para mitra untuk memetakan sistem surveilans, mengidentifikasi kesenjangan dan menetapkan tujuan-tujuan surveilans, serta menyelaraskan dan menjalankan prioritas-prioritas.
Lokakarya kajian yang dilaksanakan pada April 2025 mengundang 39 peserta dari Kemenkes, dinas kesehatan provinsi maupun kabupaten/kota, badan-badan penting pemerintah – seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; Badan Penanggulangan Bencana Daerah; dan Badan Riset dan Inovasi Nasional – dan lembaga-lembaga akademik, termasuk Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro, dan National University of Singapore.
Kredit: Agrin Zauyani Putri/WHO Indonesia
Bersama, para peserta ini mengkaji implementasi rencana aksi MSCS 2024 dan membagikan kemajuan integrasi data iklim, entomologis, dan kesehatan. Peserta mengkaji korelasi tren kasus dengue, pola cuaca, dan surveilans vektor untuk mengidentifikasi sinyal-sinyal risiko serta kesempatan-kesempatan untuk menjalankan intervensi dini. Pada periode Januari hingga April 2025, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah melaporkan penurunan jumlah kasus dibandingan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yang menunjukkan terus adanya risiko dengue tetapi juga efikasi sistem kewaspadaan dini
“Dengue adalah suatu penyakit yang bersifat sensitif iklim dan menuntut tindakan bersama,” ujar dr. Irma Makiah, kepala pengendalian penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. “Melalui MSCS, kita membangun hubungan yang lebih kuat antar-sektor, meningkatkan interpretasi data, dan menerapkan pendekatan yang lebih terarah terkait pencegahan. Jumlah kasus pada awal 2025 terlihat menjanjikan.”
Arah tindakan
Loka karya ini menghasilkan suatu rencana aksi baru yang memprioritaskan sejumlah strategi: pembentukan tim lintas sektor untuk mengoordinasikan analisis data dan kebijakan; penyusunan peta risiko dengue dengan data kesehatan, iklim, dan vektor agar tindakan respons dapat lebih cepat dijalankan; penguatan surveilans komunitas di kabupaten/kota berisiko; dan pembuatan platform terpadu untuk berbagi data dan penggunaan data lintas sektor tanpa hambatan.
“MSCS memperkuat kolaborasi lintas sektor, mempertajam analisis data, dan membantu menerjemahkan pemahaman data menjadi tindakan,” kata Dr. Sumarjaya, SKM, MM, MFP, C.F.A., Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kemenkes. “MSCS merupakan pendekatan inovatif dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons dengue, yang kami harap akan kami perluas.”
WHO memberikan panduan teknis kepada Kemenkes di sepanjang proses MSCS ini, serta pendanaan dari WHO Hub for Pandemic and Epidemic Intelligence di Berlin, Jerman. Inisiatif ini akan terus mendukung upaya-upaya regional lain seperti Asia Pacific Health Security Action Framework (Kerangka Ketahanan Kesehatan Asia Pasifik) dan akan membantu implementasi kerangka Health Emergency Preparedness, Response and Resilience WHO (Kesiapsiagaan, Respons dan Ketahanan Kedaruratan Kesehatan).
“Pelaksanaan MSCS di Indonesia menunjukkan hal-hal yang mungkin dicapai jika berbagai sektor bekerja bersama dan data menjadi dasar melaksanakan tindakan,” kata Tamara Curtin Niemi, Team Lead for Health Emergencies, WHO Indonesia. “Model ini membantu Indonesia bergeser dari tindakan reaktif terhadap kejadian luar biasa menjadi ke tindakan antisipatif – dan model ini dapat diterapkan untuk banyak masalah lain selain dengue.”
Di Jawa Tengah dan di seluruh Indonesia, WHO akan terus mendukung upaya perluasan dan penguatan MSCS sebagai model respons kejadian luar biasa yang lebih cerdas, lebih cepat, dan lebih terkoordinasi.
Ditulis oleh Endang Widuri Wulandari, National Professional Officer (Epidemiologist), WHO Indonesia