Setelah turun dari sepeda off-road-nya, Eva Mismaya (31 tahun) tersenyum berseri saat melintasi ladang serai menuju ke arah warga desa yang duduk di teras rumah-rumah kayu. Dari jauh, Eva tampak tegas dan kontemplatif, namun saat berbicara ia menunjukkan sifatnya yang tajam, teguh, namun hangat dan perhatian. Pada hari itu, setelah menempuh jarak 140 km dari Batu Licin, Eva tiba di Batu Bulan untuk melayani masyarakat.
Selain bekerja sebagai bidan bersertifikasi, Eva adalah seorang petugas malaria desa di desa Gunungraya di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Seperti di banyak pedesaan dengan endemik malaria lainnya, Desa Gunungraya mengalami kekurangan tenaga kesehatan, termasuk dokter dan perawat. Hal ini membuat peran Eva sangat penting bagi masyarakat yang ia layani.
Sejak tahun 2015, Eva bertanggung jawab atas berbagai kegiatan terkait malaria seperti survei darah masal, investigasi epidemiologi, pemantauan migrasi, dan pemeriksaan malaria pada ibu hamil dan anak-anak. Respons masyarakat yang awalnya lambat akhirnya meningkat saat masyarakat semakin sadar akan malaria dan pentingnya pemeriksaan.
"Saya harus melakukan banyak penyesuaian sejak ditempatkan untuk bekerja di sini. Budaya, lingkungan yang ekstrem, semuanya sangat sulit. Semangat dari komunitaslah yang membuat saya terus maju selama ini," ujar Eva.
Eva dan sepeda motor off-road miliknya siap untuk menjangkau desa-desa terpencil. WHO/Herdiana Hasan Basri
Pekerja kesehatan masyarakat seperti Eva sangat sadar akan isu-isu kesehatan yang mempengaruhi komunitas mereka. Meski angka kejadiannya menurun, infeksi dengue dan malaria masih menjadi isu kesehatan utama di desa Gunungraya. Eva adalah satu dari para penduduk Tanah Bumbu yang menjadi informan dalam studi WHO Indonesia terkait pemetaan malaria terhadap populasi berpindah dan migran. Bersama Kementerian Kesehatan, WHO juga mendukung para kader malaria di Kabupaten Penajem Paser Utara di provinsi tetangga, yakni Kalimantan Timur.
Eva memberikan layanan kesehatan kepada ratusan orang setiap bulan, menjangkau berbagai lokasi tempat pekerja migran berkumpul. Kelompok yang merupakan mayoritas penduduk di desa Gunungraya ini terdiri dari pembabat hutan dan penambang emas. Populasi ini juga menjadi tantangan terbesar bagi pekerjaan harian Eva, karena mereka bisa datang satu hari dan menghilang hari berikutnya, dan beberapa bisa kembali membawa parasit malaria. Eva percaya bahwa pemantauan migrasi dalam bentuk pemeriksaan darah malaria pada pendatang dan pekerja migran sangat penting dalam pencegahan dan pengendalian malaria di komunitas ini.
“Jika kita bisa melakukan pemeriksaan wajib COVID-19 bagi para wisatawan, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama untuk pemeriksaan malaria?" katanya.
Pemerintah setempat telah membuat tindakan untuk mengurangi beban kerja Eva. Sekarang ia memiliki dua kolega yang bekerja dalam program berbasis komunitas malaria. Jalan-jalan juga telah diperbaiki, sehingga memudahkan Eva dan timnya untuk melakukan perjalanan di area tersebut.
Berkat kerja keras dan kegigihan mereka, tingkat pengujian malaria di desa Gunungraya selalu tertinggi di Kabupaten Tanah Bumbu. Namun, Eva belum merasa puas dengan situasi tersebut.
“Saya berharap ada lebih banyak dukungan antar-program dan sektor yang diberikan sehingga kami bisa bekerja lebih keras lagi untuk membuat masyarakat lebih sehat," ujarnya.
Program malaria WHO Indonesia mendapat dukungan signifikan dari Global Fund.
Ditulis oleh Dr Ajib Diptyanusa, National Consultant for Malaria, dan Dr Herdiana Hasan Basri, National Professional Officer for Malaria, WHO Indonesia