Pada 10 Juli 2024, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) dan World Health Organization (WHO) memulai lokakarya tiga hari di Jawa Tengah tentang pelaksanaan surveilans kolaboratif multisumber atau multisource collaborative surveillance (MSCS) terhadap demam berdarah dengue, yang merupakan suatu ancaman kesehatan masyarakat akut di tingkat dunia dan Indonesia. MSCS bertujuan mengumpulkan pemahaman tentang bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman kesehatan dari berbagai sumber untuk menempatkan data sesuai konteks dan menginterpretasinya dengan lebih baik. MSCS juga diharapkan dapat memperkuat pencegahan, kesiapan, respons, dan ketangguhan terhadap kedaruratan kesehatan.
Per 1 Juli 2024, di Indonesia telah dilaporkan 149.866 kasus dengue terkonfirmasi. Jumlah ini sekitar tiga kali lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada 2023. Laporan kasus diterima dari 465 kabupaten/kota di ke-38 provinsi di Indonesia, dengan 884 kematian.
Lokakarya yang dipimpin Kemenkes ini didukung oleh WHO Indonesia, Kantor WHO Kawasan Asia Tenggara, dan Hub for Pandemic and Epidemic Intelligence WHO. Lokakarya ini melibatkan 55 perwakilan berbagai pemangku kepentingan, seperti Kemenkes; dinas kesehatan provinsi; dinas kesehatan kabupaten/kota; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; pakar pemodelan penyakit infeksius; epidemiolog; dan peneliti universitas. Kemenkes juga mengundang National Environment Agency Singapura untuk membagikan pengalaman analisis data dengue sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih baik.
Peserta lokakarya terlibat dalam diskusi berbasis skenario untuk mengidentifikasi tujuan surveilans dengue, menerapkan langkah-langkah kunci dari pedoman baru WHO untuk meningkatkan kapasitas MSCS dan kolaborasi pemangku kepentingan. (WHO/Agrin Zauyani Putri)
Melalui serangkaian diskusi berbasis skenario, para peserta lokakarya mengidentifikasi tujuan-tujuan spesifik surveilans dengue dan pendekatan-pendekatan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Para peserta menerapkan enam langkah utama yang tertuang dalam pedoman WHO yang akan diterbitkan, “Informing Public Health Decision-making with Multisource Collaborative Surveillance: A Step-by-Step Approach”, yang bertujuan memperkuat kapasitas MSCS dan meningkatkan kolaborasi antara para pemangku kepentingan utama.
“Di seluruh Indonesia, dengue semakin menjadi tantangan kesehatan masyarakat akut,” kata Dr. Triya Novita Dinihari, Kepala Tim Kerja Surveilans, Kemenkes. “Semakin banyak informasi yang kita dapatkan dari sebanyak mungkin sumber, semakin baik kita dapat mencegah, bersiap terhadap, dan merespons tantangan ini, serta membangun ketahanan terhadapnya. Itulah inti pendekatan MSCS dan alasan Indonesia begitu antusias menerapkan pedoman operasional baru WHO ini.”
Seiring terus berubahnya iklim, peningkatan suhu diperkirakan akan memperburuk insidensi dengue di seluruh dunia dan di Indonesia. Pada Mei 2024, WHO menilai bahwa risiko dengue secara global tinggi dan menyerukan kepada Negara-Negara Anggota untuk memperkuat kapasitas kewaspadaan dini dan respons cepat melalui pendekatan kolaboratif dengan berbagai sumber.
“Kepemimpinan Indonesia dalam memperkuat MSCS secara umum, dan secara khusus untuk dengue, mencerminkan pendekatan proaktif negara ini terhadap tidak hanya identifikasi tetapi tindak lanjut pelajaran-pelajaran yang dipetik dari pandemi COVID-19,” kata Dr N. Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia. “MSCS yang kuat dan terdiversifikasi merupakan instrumen penting bagi Indonesia untuk meningkatkan intelijen kesehatan masyarakat dan pengambilan keputusan, dan saya mengapresiasi Indonesia karena telah segera menerapkan MSCS.”
Peserta secara aktif menyumbangkan ide dan strategi selama lokakarya kolaboratif (WHO/Agrin Zauyani Putri)
Pada 24 Juli, Dr Dinihari membagikan pengalaman MSCS Indonesia dengan pemangku-pemangku kepentingan Asia Pacific Health Security Action Framework (APHSAF) atau Kerangka Tindakan Keamanan Kesehatan Asia Pasifik. Diluncurkan pada Juni 2024, APHSAF meliputi 48 negara dan daerah di Kawasan WHO Asia Tenggara dan Pasifik Barat, yang menjadi rumah bagi 4 miliar orang.
Kerangka ini dirancang untuk menggandeng aktor-aktor dari berbagai sektor keamanan kesehatan dan mencerminkan kompleksitas kedaruratan-kedaruratan kesehatan masyarakat yang ada saat ini maupun di masa mendatang. Kerangka ini memberikan enam ranah kerja multisektoral yang saling terhubung, berdasarkan Asia Pacific Strategy for Emerging Diseases and Public Health Emergencies dwi-Kawasan, yang pertama dibentuk pada 2005.
Pengalaman Indonesia menjalankan MSCS terhadap dengue diharapkan mengarahkan upaya-upaya nasional di seluruh Asia Pasifik dalam mengimplementasi Kerangka APHSAF, yang kemudian akan melengkapi dan memperkuat pendekatan pencegahan, kesiapan, respons, dan ketangguhan terhadap kedaruratan kesehatan global. Ketiga tingkatan WHO – negara, kawasan, dan global – akan terus mendukung Indonesia dalam memprakarsai tindakan tegas untuk memperkuat MSCS dan mencapai masa depan yang lebih sehat, berkeamanan kesehatan, dan tangguh bagi semua.
Ditulis oleh Mushtofa Kamal, National Professional Officer (Surveillance), WHO Indonesia