Upaya mencapai eliminasi schistosomiasis pada tahun 2030 menghadapi tantangan akibat keterbatasan sensitivitas uji mikroskopi parasitologis yang ada saat ini di daerah-daerah transmisi rendah di Indonesia. Untuk memperkuat surveilans, WHO mengadakan lokakarya berdurasi lima hari tentang tes recombinant antigen enzyme-linked immunosorbent assay (RA-ELISA) pada 5–9 Juli 2023. Pelatihan ini mencakup seminar, latihan laboratorium, dan kunjungan lapangan, dengan penekanan pada sensitivitas dan spesifisitas tes ini. Menggabungkan pemeriksaan mikroskopi dengan RA-ELISA merupakan rekomendasi sebagai suatu solusi untuk memperkuat surveilans.
Peserta pelatihan menapis sampel serum dari lapangan menggunakan RA-ELISA. Kredit: University of Philippines Manila/Dr Jose Ma. M. Angeles
Tantangan utama dalam eliminasi schistosomiasis adalah tidak tersedianya tes diagnostik yang sensitif, akurat, mudah diakses, dan terjangkau, khususnya dalam tahap pra-eliminasi Schistosoma japonicum, parasit penyebab schistosomiasis. Pemeriksaan mikroskopi saat ini dilakukan dengan pengambilan sampel tinja selama tiga hari, yang menimbulkan kekhawatiran tentang tidak cukup sabarnya masyarakat, penggunaan sampel tinja anggota keluarga lain, dan penggunaan sampel tinja yang sama untuk pengambilan sampel berkali-kali.
Schistosomiasis masih menjadi kekhawatiran kesehatan masyarakat yang signifikan di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Sulawesi Tengah. Dua puluh delapan desa di provinsi ini masih banyak terdampak penyakit ini, tetapi Indonesia terus berupaya menghentikan penyebarannya. WHO berkontribusi dalam misi ini antara lain dengan mendukung pemberian obat pencegahan massal bebas biaya di daerah-daerah terdampak, sehingga dalam beberapa tahun terakhir Indonesia berhasil mempertahankan angka infeksi yang rendah. Meskipun terjadi kenaikan angka prevalensi saat pandemi COVID-19 memuncak, angka “infeksi intensitas tinggi” tetap di bawah 1%, memenuhi definisi WHO untuk eliminasi schistosomiasis sebagai masalah kesehatan masyarakat.
WHO berperan penting dalam program eliminasi schistosomiasis di Indonesia yang ambisius ini, dengan cara mengadakan lokakarya pembangunan kapasitas selama lima hari yang berfokus pada tes recombinant antigen enzyme-linked immunosorbent assay (RA-ELISA) di Donggala, Sulawesi Tengah. RA-ELISA penting untuk upaya penapisan dalam konteks pra-eliminasi, terutama saat kasus-kasus schistosomiasis jarang terdeteksi di daerah-daerah endemik. RA-ELISA, yang lebih sensitif dibandingkan metode diagnosis sebelumnya dan menggunakan sampel darah, bukan sampel tinja, dapat meningkatkan ketepatan penapisan dan membatasi keletihan masyarakat yang timbul dari survei tinja tahunan.
Pelatihan yang diadakan di fasilitas Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) ini diikuti oleh 29 peserta yang mewakili berbagai pemangku kepentingan, mulai dari otoritas dan tenaga kesehatan hingga universitas setempat. Program ini dimulai dengan acara pembukaan yang dihadiri tokoh-tokoh penting, yang menunjukkan pentingnya tujuan-tujuan pelatihan ini serta menekankan komitmen Kementerian Kesehatan untuk eliminasi schistosomiasis di dua kabupaten endemik di Sulawesi Tengah, yaitu Kabupaten Poso dan Sigi.
Seminar dan latihan praktik yang dipimpin para pakar dari University of Philippines in Manila mencakup berbagai topik, mulai dari konteks sejarah schistosomiasis dan siklus hidup parasit penyebabnya hingga pentingnya metode diagnostik konvensional dan mikroskopi serta teknik Kato-Katz. Peserta juga diperkenalkan pada tes baru RA-ELISA dengan antigen rekombinan SjTPX1 serta persiapan reagen dan protokol tesnya.
Pelatihan ini meliputi kunjungan lapangan ke Kabupaten Poso di Sulawesi Selatan, di mana peserta mengunjungi desa-desa endemik dan mengambil sampel darah penduduk. Salah satu kelompok peserta juga mengunjungi tempat kembang biak keong perantara untuk mengamati hewan yang berpotensi menjadi inang penyakit ini. Ditutup dengan sesi terbuka untuk menjawab pertanyaan peserta, pelatihan hasil prakarsa WHO ini diharapkan dapat secara signifikan memperkuat upaya Indonesia mengeliminasi schistosomiasis dengan cara memberikan pendekatan yang lebih akurat dan komprehensif untuk surveilans dan pengendalian penyakit di daerah ini.
“Fasilitas yang canggih di laboratorium Balitbangkes Donggala sangat mengesankan. Kapasitas laboratorium tingkat lanjut ini menjadi modal untuk program eliminasi skistosomiasis. Kami yakin bahwa otoritas-otoritas kesehatan nasional Indonesia dapat segera menggunakan dan mengintegrasi tes RA-ELISA untuk memperkuat kapasitas surveilans dalam upaya ambisius mencapai eliminasi skistosomiasis pada tahun 2023,” kata pemimpin tim pelatihan Dr. Jose Ma. Angeles di Palu.
Pelatihan RA-ELISA ini penting mengingat potensinya dalam turut mempercepat eliminasi schistosomiasis, memfasilitasi akses metode diagnostik tingkat lanjut, dan memperkuat kesadaran kesehatan masyarakat serta keterlibatan masyarakat dalam pengendalian penyakit. Dengan memberdayakan tenaga kesehatan bermodalkan teknik diagnostik yang lebih sensitif ini, Indonesia ingin memperkuat ketepatan surveilans, mengidentifikasi daerah-daerah terdampak dengan lebih akurat, serta meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang terdampak oleh schistosomiasis.
Implementasi RA-ELISA di Indonesia menjanjikan manfaat-manfaat penting. Integrasi tes ini dalam sistem kesehatan nasional diharapkan dapat memperkuat kegiatan-kegiatan surveilans, sehingga memungkinkan intervensi terarah dan pemetaan penyakit yang lebih akurat. Di masa mendatang, penggunaan tes RA-ELISA akan diperluas, termasuk pada hewan, untuk mendukung pemantauan dan pengendalian penyakit yang ditularkan hewan. Perluasan ini akan membantu mengidentifikasi reservoir infeksi Schistosoma japonicum pada hewan, sehingga mencegah penularan ke manusia dan mendukung pendekatan pengelolaan penyakit One Health. Melalui langkah-langkah komprehensif ini, Indonesia terus melangkah menuju eliminasi schistosomiasis pada tahun 2030 serta melindungi populasi manusia maupun hewan dari ancaman parasit ini.
Ditulis oleh Achmad Naufal Azhari, National Professional Officer for Neglected Tropical Diseases, WHO Indonesia.