Radiofarmasi adalah zat radioaktif dalam kedokteran nuklir untuk tujuan diagnostik atau terapeutik, seperti dalam pencitraan dan pengobatan kanker. Radiofarmasi harus diatur untuk menjamin keamanan, mutu, dan kemanjurannya. Ini menjamin keselamatan pasien, kendali mutu, proteksi radiasi, keterlacakan, dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan produk-produk medis penting tersebut di Indonesia.
Pasar radiofarmasi mengalami pertumbuhan berkat kemajuan teknologi, peningkatan kasus kanker, dan peningkatan penggunaan di bidang kardiologi. Saat ini, ada sekitar 44 produk radiofarmasi yang digunakan di rumah sakit di Indonesia, namun hanya 11 produk yang telah terdaftar di BPOM. 33 produk lainnya yang tidak terdaftar dipasok melalui Mekanisme Jalur Khusus (SAS), sebuah mekanisme yang memungkinkan akses lebih cepat terhadap produk-produk medis yang belum sepenuhnya disetujui otoritas pengawas, seringkali untuk pasien dengan kondisi kritis dan pilihan pengobatan terbatas.
Seperti produk medis lainnya, memastikan keamanan, kualitas, dan kemanjuran produk radiofarmasi merupakan aspek mendasar yang sejalan dengan prinsip-prinsip Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB). Namun, di luar persyaratan CPOB, aspek mutu tertentu untuk produk radiofarmasi seperti kemurnian radionuklida, kemurnian radiokimia, radioaktivitas, uji sterilitas, uji endotoksin/pirogen juga memerlukan evaluasi yang cermat. Perbaikan dapat dilakukan terhadap pedoman di Indonesia, termasuk dalam hal meningkatkan kualitas dan keamanan kemasan produk radiofarmasi. Penguatan pedoman ini akan memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan produk radiofarmasi di Indonesia.
Untuk itu, WHO mendukung Direktorat Standardisasi Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM dalam pengembangan pedoman produk radiofarmasi. Upaya kolaboratif ini terdiri dari lokakarya, kunjungan lapangan ke fasilitas kedokteran nuklir dan serangkaian pertemuan untuk menyusun pedoman.
Lokakarya (Kredit: BPOM)
Dalam lokakarya tersebut, para ahli dan peserta dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Badan Pengatur Tenaga Nuklir Indonesia (BAPETEN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional, BRIN), dan Rumah Sakit Hasan Sadikin, berkumpul untuk memperkuat kapasitas regulator dalam mengevaluasi kualitas dan pengemasan produk radiofarmasi. Diskusi tersebut mencakup topik-topik seperti standar keselamatan pengangkutan bahan radioaktif, standar mutu produk radiofarmasi di Indonesia dan penerapan penjaminan mutu di rumah sakit.
Kunjungan lapangan dilakukan untuk meninjau fasilitas kedokteran nuklir di RS Hasan Sadikin dan RS Santosa Bandung. Peserta dari BPOM, BAPETEN dan BRIN berkesempatan meninjau ruang persiapan radiofarmasi yang meliputi laboratorium, isolator kelas C, dan lemari keamanan biologis, serta mengikuti proses pengadaan dan pengeluaran. Kedua fasilitas tersebut telah melakukan upaya yang baik dalam memperoleh dan mempertahankan sertifikasi CPOB, dan beberapa aspek yang perlu ditingkatkan telah diidentifikasi dan didiskusikan.
Selanjutnya, para ahli dari perguruan tinggi, BAPETEN, dan rumah sakit berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan pedoman dan memberikan masukan teknis tentang keamanan produk radiofarmasi, standar mutu, klasifikasi lapangan usaha (KLBI), larangan dan pembatasan (Lartas), dan pelaksanaan rumah sakit, termasuk penilaian mutu. dan kemasan produk. Kegiatan penyusunan pedoman ini juga mencakup kajian literatur dan benchmarking dengan badan pengawas lainnya, seperti European Medicines Agency (EMA) dan National Pharmaceutical Regulatory Agency (NPRA) Malaysia.
Fasilitas medis nuklir (Kredit: BPOM)
Radiofarmasi, seperti halnya produk medis lainnya, mempunyai potensi risiko dan ancaman yang perlu dikelola secara hati-hati. Risiko-risiko ini biasanya terkait dengan penggunaan dan penanganan bahan radioaktif, bukan radiofarmasi itu sendiri. Kerangka peraturan yang kuat, termasuk pedoman yang kuat untuk produk radiofarmasi, berfungsi untuk meningkatkan standar layanan kesehatan dan memastikan bahwa produk radiofarmasi yang digunakan di Indonesia memenuhi persyaratan keselamatan dan kualitas tertinggi, sehingga pada akhirnya memberikan manfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat umum.
Upaya kolaboratif WHO dan BPOM menegaskan komitmen bersama untuk memajukan peraturan kesehatan yang tepat dengan menetapkan pedoman komprehensif untuk produk radiofarmasi. Upaya-upaya ini akan terus membuka jalan bagi praktik medis yang lebih aman dan efektif di Indonesia. Pedoman baru untuk produk radiofarmasi diharapkan akan dirilis pada awal 2024.
***
Ditulis oleh Liyana Rakinaturia, National Professional Officer for Essential Medicines, WHO Indonesia