WHO/Achmad Naufal Azhari
Di laboratorium, tim peninjau memeriksa sampel tinja untuk menguji kualitas spesimen dan hasil pemeriksaan.
© Credits

Mengatasi Tantangan untuk Mengeliminasi Schistosomiasis di Sulawesi Tengah

25 July 2023
Highlights

Mengeliminasi schistosomiasis di Indonesia bukanlah hal mudah. Ada beberapa tantangan penghambat kemajuan, termasuk kurangnya komitmen dari kementerian di luar sektor kesehatan dan pemerintah daerah, terbatasnya kegiatan berbasis masyarakat, kurang memadainya metode surveilans dan diagnosis, dan langkanya akses obat untuk pengobatan hewan. Selain itu, sumber daya keuangan yang terbatas menghambat implementasi dan keberlanjutan program.

Schistosomiasis adalah masalah kesehatan masyarakat signifikan yang mengakar kuat di komunitas tertentu di Indonesia. Penyakit ini disebabkan cacing parasit bernama Schistosoma japonicum yang hidup di keong air tawar. Cacing ini hanya endemis di 28 desa di Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Poso (dataran tinggi Bada dan Napu) dan Kabupaten Sigi (dataran tinggi Lindu). Indonesia adalah negara terakhir di kawasan Asia Tenggara yang berupaya mengeliminasi schistosomiasis sebagai masalah kesehatan masyarakat. Sejak 2019, tidak ada kasus schistosomiasis pada manusia yang ditemukan di enam desa endemis di dataran tinggi Bada, sehingga sekitar tiga tahun tidak ada kasus asli. Namun, pada 2022 Lindu melaporkan total 11 kasus, sedangkan Napu memiliki mayoritas kasus dengan 205 orang yang terinfeksi.

Dari 2017 hingga 2019, WHO mendukung program pemberian obat pencegahan massal (POPM) tahunan yang dilaksanakan di desa-desa terdampak, menyediakan obat praziquantel dosis tunggal yang disesuaikan dengan berat badan secara gratis. Angka cakupan POPM bervariasi selama periode tersebut, dengan angka 79% pada 2017, 92% pada 2018, dan 88% pada 2019. Implementasi POPM menyebabkan penurunan prevalensi schistosomiasis secara signifikan pada manusia hingga mencapai 0,1% pada 2019. Namun pada 2021 dan 2022, angka prevalensi mulai meningkat hingga mencapai 1,45%. Peningkatan ini disebabkan oleh pergeseran sumber daya kesehatan masyarakat dan fokus terhadap pandemi COVID-19.

Setelah melakukan misi pemantauan schistosomiasis terakhir pada 2017, Indonesia menyelenggarakan tinjauan bersama yang komprehensif pada 2-8 Mei 2023 di Provinsi Sulawesi Tengah. Para ahli internasional dan nasional, serta pemangku kepentingan yang relevan di tingkat nasional dan daerah, terlibat di dalamnya. Tinjauan ini mencakup berbagai aspek pengendalian dan eliminasi schistosomiasis, termasuk epidemiologi dan surveilans, sistem kesehatan dan penyampaian layanan, pengendalian vektor, komunikasi perubahan perilaku, kesehatan masyarakat veteriner, serta air, sanitasi, dan kebersihan (WASH). Tinjauan tersebut mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program, serta memberikan rekomendasi bagi peningkatan efektivitas dan arah strategis untuk mencapai tujuan eliminasi schistosomiasis.

  Penanda di dekat habitat keong perantara schistosomiasis.

Papan peringatan dekat habitat keong perantara schistosomiasis di Desa Puroo, Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi. Papan ini meningkatkan kewaspadaan tentang penyakit tersebut dan mencegah penularannya. Kredit: WHO/Ajib Diptyanusa

Tinjauan tersebut menyimpulkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menunjukkan komitmen kuat untuk memberantas schistosomiasis melalui implementasi Peta Jalan Eliminasi Schistosomiasis Nasional 2018. Berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan memanfaatkan keahlian teknis, Kemenkes telah berhasil mengalokasikan sumber daya dan mempertahankan tingkat infeksi yang rendah melalui POPM dan pengendalian keong. Namun, tantangan tetap ada, termasuk kurangnya keterlibatan dari sektor lain, tak selarasnya prioritas, terbatasnya pengetahuan dan alat untuk intervensi hewan, dan tidak adanya alat diagnosis yang lebih sensitif. Selain itu, cakupan pengobatan dan kepatuhan di antara populasi petani dan migran tetap tidak memadai. Untuk mengatasi masalah ini, rekomendasi bagi eliminasi schistosomiasis ialah mengadvokasi kerja sama antarsektor, mengalokasikan sumber daya memadai, melakukan pemberian obat massal untuk manusia dan hewan, memantau dan memodifikasi habitat keong, serta memastikan dukungan berkelanjutan untuk program keterlibatan masyarakat.

“Pemberantasan schistosomiasis di Sulawesi Tengah membutuhkan upaya kolaboratif lintas sektor, antara lain kesehatan hewan, pertanian, infrastruktur, dan perilaku manusia. Hanya melalui kolaborasi multisektoral seperti itu kita dapat mencapai tujuan eliminasi schistosomiasis di kawasan ini,” kata Ma’mun Amir, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah.

Sedangkan menurut Dr Aya Yajima, Penasihat Regional untuk Penyakit Tropis Terabaikan dari Kantor Regional WHO untuk Asia Tenggara, “Indonesia akan menjadi negara kedua di dunia setelah Jepang yang menyatakan eliminasi schistosomiasis. Ini juga akan menandai eliminasi schistosomiasis di seluruh wilayah Asia Tenggara WHO.”

Dr. Aya menambahkan, eliminasi tersebut akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 3, dengan fokus pada memastikan kehidupan yang sehat dan mempromosikan kesejahteraan untuk semua. Ini termasuk memerangi dan mencegah penyebaran penyakit menular pada 2030.

Foto bersama para peserta Tinjauan Schistosomiasis.

Tim Tinjauan Program Eliminasi Schistosomiasis bersama para pemangku kepentingan setempat. Kredit: WHO/Ajib Diptyanusa

Tinjauan ini adalah langkah penting untuk mencapai target eliminasi schistosomiasis di Indonesia pada 2029, setahun lebih awal dari target 2030 yang digagas WHO  wilayah Asia Tenggara. Dengan mengatasi tantangan dan menerapkan upaya yang direkomendasikan, Indonesia bergerak mendekat pada pencapaian target tersebut.

Ditulis oleh dr. Ajib Diptyanusa, National Consultant for Malaria, dan Achmad Naufal Azhari, National Professional Officer for Neglected Tropical Diseases, WHO Indonesia.

Media Contacts

Tim Komunikasi Indonesia