Menjembatani Kesenjangan: Pentingnya Melatih Tenaga Kesehatan untuk Meningkatkan Cakupan Imunisasi Aceh

30 September 2024
Reading time:

Selama 5 tahun terakhir, Nur Khalida, seorang mantan bidan yang kini menjadi koordinator imunisasi, bertugas di Puskesmas Ingin Jaya, yang berdiri di sebuah gedung kuning cerah dan tertata rapi di pinggiran Kota Banda Aceh. 

Nur kerap bekerja dengan para bidan setempat untuk memaksimalkan cakupan imunisasi, terutama dalam menangani keraguan vaksin. 

“Saya yakin rasa percaya masyarakat dapat dibangun dengan pendekatan personal,” jelasnya, sambil menambahkan, “Saya selalu memberikan nomor telepon saya untuk pertanyaan lebih lanjut, dan ini membantu menenangkan rasa takut.” 

Nur Khalida (kiri) dan peserta-peserta lain menjalankan pelatihan peran. Sesi-sesi praktik pemberian imunisasi dan latihan-latihan peran ini membantu peserta untuk menjelaskan penyakit dan imunisasi kepada orang tua dengan baik. (WHO/Fieni Aprilia) 

Di Aceh, penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti campak, polio, dan difteri baru-baru ini memicu kejadian luar biasa. Kondisi ini menyoroti perlunya peningkatan cakupan imunisasi. Pada 2023, baru 20,8% anak-anak di Aceh yang telah menerima imunisasi dasar lengkap, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 95,3%. 

Namun, menurut pengalaman Nur, tenaga kesehatan yang terlatih dan diberdayakan dapat meningkatkan penerimaan vaksin, melindungi masyarakat, dan pada akhirnya menyelamatkan nyawa. 

“Tenaga kesehatan merupakan jembatan penghubung antara kebijakan kesehatan dan komunitas yang dilayaninya,” jelas Dr Muhammad Fathun, petugas teknis WHO untuk imunisasi di Aceh. “Hanya menawarkan vaksin saja tidak cukup; tenaga kesehatan harus mampu berkomunikasi, mengedukasi, dan membangun kepercayaan masyarakat.” 

Pengamatan yang sederhana tetapi penting ini menjadi landasan sebuah pelatihan yang didukung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan World Health Organization (WHO) di Kota Banda Aceh, pada 18–27 Juni 2024. 

Pelatih mendemonstrasikan cara mengidentifikasi vaksin beku, melakukan uji kocok, dan menyimpan vaksin dengan tepat. (WHO/Fieni Aprilia) 

“Banyak anggota masyarakat yang khawatir akan kejadian ikutan pascaimunisasi atau ditentang oleh anggota keluarga, terutama oleh ayah,” kata Dr Fathun. “Karena itu, kami menjawab hambatan-hambatan ini bersama para peserta melalui latihan peran.” 

“Pada akhirnya, tenaga kesehatan garis depan merupakan petugas yang paling banyak berkontak langsung dengan keluarga, sehingga mereka perlu diperlengkapi dengan alat-alat dan kemampuan komunikasi yang tepat untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat dengan sikap simpati dan pengertian.” 

Pelatihan selama lima hari yang didukung Kemenkes dan WHO ini diadakan dua kali, melibatkan 180 peserta dari tujuh kabupaten/kota di provinsi ini. Peserta terdiri dari 102 petugas imunisasi dan 78 bidan, sebagian besar dari puskesmas. 

Selain melibatkan dan memberikan edukasi kepada masyarakat, pelatihan ini mencakup keterampilan-keterampilan penting seperti perencanaan pelaksanaan dan pengelolaan rantai dingin vaksin, termasuk cara mengidentifikasi vaksin yang beku. 

Peserta mengikuti latihan praktik pencatatan dan pengelolaan rantai dingin di sebuah puskesmas. (WHO/Fieni Aprilia) 

Sesi-sesi pelatihan juga mencakup pelaporan program imunisasi, pengawasan kejadian ikutan pasca imunisasi, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan imunisasi. 

Nur memperhatikan bahwa isi pelatihan dan para peserta telah banyak bergeser dari pendekatan-pendekatan sebelumnya. 

Sebelumnya, pelatihan diprioritaskan untuk staf dinas kesehatan, sedangkan pelatihan untuk bidan dan petugas imunisasi belum banyak dijalankan. 

Menurut Nur, justru petugas imunisasi-lah yang umumnya tahu siapa yang telah diimunisasi dan siapa yang belum. 

Di Aceh, kesenjangan sedang dijembatani – satu demi satu tenaga kesehatan. 


Kegiatan ini didukung oleh pemerintah Australia melalui Department of Foreign Affairs and Trade.  

Ditulis oleh Fieni Aprilia, Digital Communications Officer, WHO Indonesia