Di Luar Kandang: Melindungi Unggas dan Masyarakat Surabaya melalui Surveilans One Health

23 October 2025

Di tengah-tengah tumpukan kandang ayam dan dua panci air yang mengepul, Vicky menceritakan perjalanan usaha keluarganya sambil menyerahkan ayam yang sudah diproses kepada staf untuk dikirim. “Usaha kami aman dari wabah flu burung tahun 2003,” ujarnya. “Dulu kami tidak khawatir.” 

Saat itu Vicky baru berusia tiga tahun, jauh sebelum ia terlibat dalam usaha keluarga. Namun pelajaran dari wabah H5N1 – yang menyebar di seluruh Asia, melumpuhkan peternakan unggas, dan membunuh jutaan ekor burung – masih terus membentuk kewaspadaan Indonesia terhadap penyakit zoonosis. Kewaspadaan itu kini juga mencakup pasar tradisional seperti Tambahrejo, di mana lapak Vicky menjadi bagian dari upaya baru surveilans flu burung. 

Inisiatif One Health – dipimpin Kementerian Kesehatan dan didukung berbagai mitra di bidang kesehatan hewan, lingkungan, dan kesehatan manusia, termasuk World Health Organization (WHO) dan United Nations Development Programme (UNDP) – diuji coba di lima kota pada 28 Juli hingga 1 Agustus 2025. Inisiatif ini bertujuan memperkuat deteksi dini dan respons terhadap flu burung serta penyakit zoonosis lain pada titik temu hewan dan manusia. Surabaya, ibu kota Jawa Timur dan pusat transit penting di mana unggas dari berbagai daerah diangkut, dipotong, dan dijual, menjadi salah satu lokasi uji coba tersebut. 

Orang mengenakan jaket hitam berdiri di ruang kerja dalam ruangan yang redup dan berantakan dengan lampu gantung dan peralatan.
Vicky (25) telah menjalankan lapak unggas milik keluarganya di Pasar Tambahrejo sejak 2015, melanjutkan usaha yang dirintis ibunya lebih dari empat puluh tahun lalu. (WHO/Fieni Aprilia) 

Manusia, hewan, dan lingkungan bersama 

Di Pasar Tambahrejo, lapak Vicky memisahkan area pemotongan dan penjualan; namun, pemisahan sejenis tidak diterapkan sejelas itu di tempat lain. Di sudut-sudut pasar, genangan air, bangkai, dan tumpukan sampah menunjukkan risiko yang dapat muncul ketika manusia dan hewan menggunakan lingkungan sempit yang sama. Untuk memantau risiko ini, sampel diambil dari tiga sumber – manusia, hewan, dan lingkungan – untuk mendeteksi tanda-tanda awal flu burung dan penyakit lain. 

“Tantangan terbesar adalah saat pedagang menolak pengambilan sampel,” kata Tika Fiona Sari, petugas kesehatan lingkungan di Salatiga, Jawa Tengah, yang turut serta dalam kegiatan pengambilan sampel. “Mereka khawatir kalau hasilnya positif, pembeli tidak mau datang lagi dan dagangan tidak laku. Surveilans itu ibarat dua sisi mata pisau: membantu mendeteksi wabah, tapi kalau kasus terungkap, bisa mengancam mata pencaharian.” 

Orang mengenakan alat pelindung membawa kotak pendingin di pasar redup dengan peti bertumpuk dan lampu gantung.
Drh Romadhony Arif dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya membawa spesimen dari Pasar Keputran selama kegiatan surveilans pada pukul empat pagi, sesuai jadwal para pedagang. (WHO/Fieni Aprilia)

Kekhawatiran ini juga disampaikan oleh drh. Romadhony Arif dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya, yang memimpin surveilans dini hari di Pasar Keputran, di seberang kota. “Saat jam ramai, sangat menyulitkan pedagang kalau kami mengambil sampel. Kami harus menyesuaikan jadwal mereka,” jelasnya. 

Meski dihadapkan pada tantangan-tantangan ini, tim berhasil menyelesaikan kegiatan surveilans. Terkumpul 53 sampel darah manusia dan tiga usap hidung dan tenggorokan, serta 106 swab unggas dan 46 sampel lingkungan dari area pedagang. 

“Pendekatan One Health efektif karena koordinasi antara laboratorium kesehatan manusia, lingkungan, dan hewan sudah kuat,” drh. Romadhony menambahkan. “Jika ada dugaan kasus flu burung, kami sudah tahu alur tindak lanjutnya – dari kesehatan manusia ke kesehatan lingkungan hingga kesehatan hewan.” 

Melindungi masyarakat, menjaga mata pencaharian 

Di Tambahrejo, Vicky justru menyambut baik kedatangan tim surveilans. Pengalaman bertahun-tahun membuatnya peka terhadap tanda-tanda penyakit pada unggasnya. “Kalau ayam tiba-tiba mati, kita tahu itu penyakit dan harus waspada,” ujarnya. “Kekhawatiran saya setengah-setengah. Kami sudah mengikuti prosedur kebersihan semaksimal mungkin. Kami bukan pabrik, tapi kami berusaha menjaga pasar sebersih mungkin.” 

Sekelompok orang mengenakan alat pelindung melakukan inspeksi dan mencatat di dalam fasilitas ternak yang redup
Tim surveilans mendokumentasikan temuan dan mengambil sampel dalam surveilans One Health di pasar-pasar unggas di Surabaya. (WHO/Fieni Aprilia)  

Masyarakat serta mata pencahariannya harus dilindungi secara bersamaan. Surveilans mendeteksi risiko lebih awal dan menjadi dasar tindakan sebelum wabah menyebar. Pendekatan One Health menghubungkan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan agar penanggulangan menjadi lebih cepat dan koordinasi lebih kuat. 

Bagi Vicky dan ratusan pedagang lain di pasar-pasar Surabaya – serta di seluruh Indonesia – menjaga keamanan unggas dan manusia adalah bagian dari rutinitas sehari-hari. Nafkah mereka bergantung pada pasar yang aman, dan dari pasar ini jugalah kesehatan masyarakat sekitarnya ikut terjaga. 


Kegiatan ini dipimpin oleh Kementerian Kesehatan, dengan bantuan teknis dari WHO Indonesia dan dengan pendanaan dari Pandemic Influenza Preparedness Framework. 

Ditulis oleh Fieni Aprilia, Digital Communication Officer, WHO Indonesia