Ketika bercak-bercak putih mulai bermunculan di kulit Fajar Maulana, sang ayah, Budi Nurochman, semakin cemas. Saat itu Fajar berusia 16 tahun dan sedang menempuh pendidikan di sebuah pesantren di Cileungsi. Bercak-bercak itu mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Meski fisiknya masih terasa kuat, kepercayaan dirinya memudar.
“Fajar mulai merasa sangat minder,” kenang Budi. “Dia meminta diperiksa. Badannya masih kuat, tapi bercak putih sudah ada di mana-mana.”
Tanda-tanda ini sebenarnya sudah mulai muncul lama sebelumnya, saat Fajar masih di kelas sembilan. Ia ingat kesulitan berjalan karena sendi-sendinya nyeri, dan telinganya bengkak. “Sendi-sendi saya rasanya seperti kesetrum kalau terbentur sesuatu,” ujarnya.
Awalnya mereka mencari pertolongan ke dokter kulit di rumah sakit, tetapi pengobatannya tidak membawa hasil. Akhirnya mereka pergi ke fasilitas kesehatan di dekat rumah mereka, Puskesmas Sirnajaya di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Diagnosis dokter mengejutkan mereka: kusta. Fajar menangis tersedu-sedu saat mendengarnya. Ia teringat, “Waktu itu saya takut penyakit ini tidak bisa disembuhkan.”
Namun, sang ayah tidak pernah goyah. Setiap bulan, Budi mengendarai sepeda motornya selama 45 menit sekali jalan demi menjemput Fajar dari sekolah dan membawanya ke puskesmas untuk diperiksa. “Tenaga kesehatan bilang jangan merasa malu,” kata Budi. “Dan kami, keluarganya, mendukung Fajar sepenuhnya.”
Fajar langsung memulai pengobatan. Awalnya, ia harus minum enam pil sekaligus. Obat ini menimbulkan efek samping: urinenya berubah merah dan ia mudah elah meski baru beberapa menit berolahraga. Tetapi Fajar tetap disiplin, dan Budi pun tidak menyerah mendukungnya.
Setelah satu bulan penuh minum obat, kusta yang diderita Fajar sudah tidak lagi menular. Kini, setelah 10 bulan menjalani pengobatan, ia kadang merasa gatal, yang menurut tenaga kesehatan merupakan pertanda baik bahwa proses penyembuhan sedang berlangsung.
Pada 23 Juli 2025, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berkunjung ke Kabupaten Bekasi dan bertemu keluarga pasien kusta, termasuk keluarga Fajar. Ia menekankan pentingnya deteksi dini dan dukungan keluarga dalam memerangi kusta. “Kusta bisa disembuhkan, dan obatnya gratis,” ucapnya. “Tapi karena stigma, orang takut melaporkannya. Itulah sebabnya kusta sering terlambat ditemukan.”
Pada 2024, Indonesia melaporkan hampir 15.000 kasus baru kusta, paling banyak di Jawa Barat. Di Kabupaten Bekasi, Kelurahan Sirnajaya mencatat 24 kasus baru pada 2024 dan 17 kasus pada paruh pertama 2025.
Untuk menghentikan penyebaran, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) menyediakan obat gratis dan pengobatan pencegahan bagi orang yang tinggal dekat penderita kusta. Setiap tahun, WHO menyediakan obat dan dosis pencegahan senilai sekitar 800.000 dolar AS untuk Indonesia.
Hari itu, Budi ikut menjalani pengobatan pencegahan. “Saya berharap bisa terlindung dari kusta, agar tetap bisa memberikan yang terbaik bagi Fajar dan saudara-saudaranya,” ujarnya.
Kini, pada usia 17 tahun dan hampir menuntaskan 12 bulan pengobatan, Fajar telah lulus dari pesantren dan menatap masa depan dengan penuh harapan. Pesannya kepada orang lain sederhana: “Kalau melihat bercak putih di kulit, jangan langsung menganggap itu hanya kurap atau jamur. Jangan dianggap remeh, segera periksakan di puskesmas.”
Perjalanan Fajar menunjukkan bahwa dengan pengobatan dini, dukungan keluarga yang kuat, dan informasi yang tepat, kusta tidak harus menjadi vonis seumur hidup. Dan kadang, tekad keluargalah yang menjadi penentu.
Kegiatan ini didukung oleh Sasakawa Health Foundation.
Ditulis oleh Bunga Manggiasih, National Professional Officer (Communication), WHO Indonesia