Di Jambi, cuaca yang tidak menentu kini bukan hanya masalah para petani. Perubahan pola curah hujan dan peningkatan suhu memengaruhi kesehatan, mengubah penyebaran penyakit, serta menjadi tantangan program kesehatan tradisional.
Inisiatif Desa/Kelurahan Sehat Iklim (DEKSI) membantu masyarakat beradaptasi terhadap perubahan ini. Sebagai inisiatif berbasis masyarakat yang membantu desa beradaptasi dan tetap sehat di tengah perubahan iklim, DEKSI mengandalkan keterlibatan masyarakat untuk mengidentifikasi tantangan terkait iklim dan melaksanakan intervensi yang sesuai. Dimulai sebagai Desa Desi, inisiatif nasional ini awalnya berfokus pada desa. Pada September 2025, namanya diubah menjadi DEKSI dan cakupannya diperluas ke kelurahan.
Jambi menjadi provinsi pertama di Indonesia yang menerapkan Desa Desi dan DEKSI, menunjukkan cara aksi lokal dapat mengatasi risiko kesehatan terkait iklim.
Inisiatif ini dimulai pada 2018, ketika tim Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jambi mengikuti pelatihan adaptasi iklim yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Bagi Susilawati, seorang sanitarian Dinkes Provinsi Jambi, pelatihan tersebut membuka wawasan baru.
“Saya menyadari betapa pentingnya membawa hal ini ke desa-desa. Perubahan iklim memengaruhi kesehatan, dan masyarakat perlu belajar beradaptasi,” ujarnya. Pada 2019, ia mulai mempromosikan desa tangguh iklim di seluruh provinsi, memanfaatkan program yang sudah ada dan kadang menggunakan sumber daya pribadinya.
/countries/indonesia/img_0681.jpeg?sfvrsn=3ca8da4c_5)
Susilawati, seorang sanitarian di Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, merupakan salah satu penggerak utama DEKSI di Jambi. Kredit: WHO/Bunga Manggiasih
Pimpinan Dinkes mendukung gagasan ini, lantas menyiapkan kebijakan provinsi untuk keberlanjutan dan menjelaskan alasannya kepada gubernur. Secara bersamaan, beberapa desa mulai melakukan uji coba pendekatan ini dengan memanfaatkan dana desa untuk mendukung aksi masyarakat.
Gubernur Jambi Al Haris menyadari urgensi dan memandang inisiatif ini sebagai respons strategis bagi kerentanan Jambi terhadap perubahan iklim. Surat Keputusan Gubernur yang ia tanda tangani pada 2024 memberikan dasar hukum dan membuka keran pendanaan dari pemerintah provinsi untuk desa-desa DEKSI. “Kami memutuskan untuk memulai dari bawah, membantu desa memahami pentingnya menjaga iklim dan ekosistem mereka,” ujarnya.
Untuk memperkuat dan memperluas pelaksanaan DEKSI, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan pedoman khusus. Kementerian juga mendukung adaptasi iklim melalui pengembangan pedoman teknis dan kerangka kebijakan untuk respons bencana kesehatan dan lingkungan. Kementerian telah menerbitkan Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan tahun 2025–2030. Sementara itu, provinsi didorong untuk membuat Rencana Aksi Daerah masing-masing.
Aksi masyarakat dan perubahan yang terlihat
Di Desa Sri Agung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, inisiatif ini mengandalkan berbagai jaringan masyarakat. Kader kesejahteraan keluarga mempromosikan pengelolaan sampah rumah tangga. Kader kesehatan memberikan edukasi kesehatan. Sementara itu, para pemuda berkontribusi melalui kampanye digital dan media sosial.
Pendekatan partisipatif ini berbeda dengan program kesehatan tradisional yang bersifat top-down atau dari atas ke bawah. “Awalnya kami agak terkejut, jadi harus belajar dan berdiskusi dengan rekan-rekan dari puskesmas dan dinas-dinas terkait,” kata Ani Rizka Amelia, anggota kelompok kerja DEKSI di Sri Agung.
Kelompok kerja menjadi penggerak utama inisiatif ini di desa. Terdiri atas anggota yang mewakili perempuan, pemuda, kelompok rentan, dan organisasi masyarakat lainnya, kelompok kerja bertugas mengidentifikasi tantangan kesehatan terkait iklim di desa mereka, merancang solusi, dan melaksanakan intervensi untuk memperbaiki situasi.
/countries/indonesia/img_0657.jpeg?sfvrsn=4dc91989_7)
Warga Desa Sri Agung mendiskusikan siklus penularan demam berdarah dengan materi dari Kementerian Kesehatan. Kredit: WHO/Bunga Manggiasih
Thobrani, Kepala Desa Sri Agung, menceritakan proses desanya dalam melaksanakan program ini. Setelah pertemuan desa, masyarakat antusias. Mereka merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan, termasuk pelatihan kader kesehatan, pemasangan tempat sampah, dan pemasangan poster pencegahan penyakit. Pada 2024, desa mengalokasikan Rp67 juta untuk mendukung kegiatan desa tangguh iklim.
Maria, sanitarian di Puskesmas Talang Bakung, melihat kekuatan sosial masyarakat sebagai aset utama inisiatif DEKSI. “Masyarakat sudah kuat dalam gotong royong, jadi kami membangun dari situ. Berdasarkan diskusi dengan kelompok kerja DEKSI, kami mulai dengan edukasi pengelolaan sampah, pencegahan demam berdarah dengue, serta gizi dan tanaman obat.”
Ia menguraikan cara warga menggerakkan inisiatif ini, termasuk menanam berbagai tanaman sebagai obat untuk penyakit umum, yang bermanfaat saat akses ke layanan kesehatan terganggu bencana terkait iklim. Misalnya, jahe untuk meredakan peradangan, seledri untuk menurunkan tekanan darah, lidah buaya untuk menyembuhkan kulit, dan serai untuk mengusir nyamuk. Warga juga menanam sayuran di lahan bersama. Daun kelor yang dipanen digunakan untuk membuat puding dan dibagikan kepada balita yang mengikuti kegiatan posyandu, sementara sayuran lain dijual ke tetangga.
Selain itu, masyarakat meningkatkan pemeriksaan rutin dan pemberantasan tempat berkembang biak nyamuk untuk mencegah penyebaran demam berdarah serta berusaha mendapatkan alat penting seperti komposter dan mesin pencacah sampah.
Perubahan terlihat nyata. Di Sri Agung, kejadian penyakit sensitif iklim menurun antara 2023 dan 2024. Infeksi saluran pernapasan atas turun dari 7 kasus menjadi 3, sedangkan diare dari 2 menjadi nol. Kebiasaan juga berubah. “Dulu orang membuang sampah sembarangan. Sekarang, sampah dipilah. Sebagian untuk kompos, sebagian untuk dijual,” kata Thobrani.
“Sebelum DEKSI, orang belum paham cara mengelola sampah. Sekarang mereka lebih paham,” kata Maria. Di Talang Bakung, DEKSI membantu warga mempertahankan nol kasus diare, infeksi cacing, malaria, dan demam berdarah selama tiga tahun berturut-turut.
Langkah selanjutnya
dr. Then Suyanti, Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, memandang kepemimpinan Jambi sebagai model bagi provinsi lain. “Yang saya lihat di Jambi adalah kuatnya komitmen kepemimpinan lokal. Ini akan menjadi contoh atau model bagi provinsi lain untuk mempercepat pelaksanaan DEKSI,” ujarnya.
Gubernur Al Haris terus mendorong pemimpin daerah lain untuk mengadopsi DEKSI. “Jika kita terlambat menangani isu iklim, kita juga akan terlambat menyelamatkan anak cucu kita di masa depan.”
Susilawati sependapat dengan Gubernur. “Jika kita tidak menjaga lingkungan sekarang, dampaknya akan menimpa anak cucu kita. Jaga lingkungan, maka lingkungan akan menjaga kita,” ujarnya.
Di desa, rasa memiliki dalam hati masyarakat semakin tumbuh. “Lingkungan lebih bersih, masyarakat lebih sadar hidup sehat, dan kelompok kerja kami lebih aktif,” kata Ani. “Kami sudah melangkah jauh, dan siap terus maju.”
Model DEKSI di Jambi menandai pergeseran dari respons kesehatan yang reaktif menjadi adaptasi iklim berbasis masyarakat yang proaktif. Dengan menyadari bahwa perlindungan lingkungan berujung pada kesehatan manusia, desa-desa ini membentuk pendekatan baru ketahanan iklim di Indonesia.
Ditulis oleh Bunga Manggiasih, National Professional Officer (Communication), WHO Indonesia