Pandemi COVID-19 memaksa pengalihan sumber daya dari berbagai program kesehatan, termasuk pengendalian penyakit Japanese encephalitis, sehingga upaya surveilans terbengkalai dan perluasan imunisasi Japanese encephalitis tertunda. Selain itu, Indonesia masih belum memiliki strategi nasional terkoordinasi untuk memandu program pengendalian infeksi Japanese encephalitis.
Virus Japanese encephalitis merupakan penyebab utama radang otak akibat virus (ensefalitis) di Asia, dengan angka kematian penderita sebesar 30% dan gangguan saraf atau kejiwaan jangka panjang pada 50% penderitanya. Pandemi COVID-19 mengganggu surveilans penyakit ini di 11 provinsi dan imunisasi di Bali, yang merupakan provinsi berisiko tertinggi terhadap penyakit yang belum dapat diobati secara efektif ini.

Babi merupakan inang penting untuk virus Japanese encephalitis. Kredit: WHO/Joao Soares Gusmao
WHO mendukung Indonesia dalam menjalankan kembali kegiatan surveilans dan imunisasi di provinsi-provinsi prioritas, memperluas imunisasi ke provinsi-provinsi berisiko tinggi lain, dan kemudian mempertahankannya dalam jangka panjang. WHO aktif mendukung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan tiga intervensi utama pengendalian infeksi virus ini. Pertama, WHO berperan penting merevitalisasi upaya surveilans Japanese encephalitis di Indonesia. Dengan fokus Kalimantan Barat, suatu provinsi dengan kinerja rendah, WHO memfasilitasi pertemuan-pertemuan koordinasi dan konsultasi serta lokakarya reorientasi untuk petugas dinas kesehatan (dinkes) provinsi, laboratorium, dinkes kabupaten/kota, dan rumah sakit surveilans. Lokakarya ini bertujuan memperkuat jaringan surveilans, khususnya di tengah gangguan akibat pandemi ini, sehingga pengumpulan data dapat berjalan efektif untuk mendukung langkah-langkah pengendalian Japanese encephalitis.
Kedua, WHO banyak berkontribusi dalam penyusunan strategi nasional tatalaksana Japanese encephalitis. Berkolaborasi dengan pakar-pakar dari Universitas Gadjah Mada, WHO dan Kemenkes mengidentifikasi lima strategi utama untuk periode 2023–2027, yaitu penguatan sistem surveilans, perluasan cakupan imunisasi anak, pengendalian yang efektif untuk hewan penular (vektor) dan inang (reservoir) seperti babi, penguatan komitmen dan koordinasi di berbagai tingkat pemerintahan, dan promosi inovasi dan penelitian yang mendukung program penanggulangan Japanese encephalitis. WHO juga mendukung penetapan target indikator, perkiraan anggaran, identifikasi sumber dan kekurangan pendanaan, dan penjabaran peran berbagai pemangku kepentingan.

Moh. Zafran, ditemani oleh neneknya Masita Yuliana, diimunisasi di Posyandu Pakavani Indah, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Kredit: WHO/Iqbal Lubis
Ketiga, WHO berpartisipasi aktif dalam pencanangan imunisasi Japanese encephalitis di provinsi-provinsi endemik baru, khususnya Kalimantan Barat. Keikutsertaan ini mencakup kegiatan pembangunan kapasitas untuk pengelola program imunisasi, pengelola logistik, dan dinkes provinsi maupun kabupaten/kota. Tujuannya adalah memastikan upaya pencanangan imunisasi berjalan lancar dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petugas-petugas kunci. Peran WHO juga mencakup pengadaan persediaan penting seperti spidol penanda khusus untuk imunisasi tambahan massal, advokasi dan peningkatan kesadaran, kegiatan orientasi dan penyegaran (refresher) keilmuan, pertemuan koordinasi dengan dinkes, dan kegiatan pemantauan dan evaluasi komprehensif untuk mengkaji kemajuan dan efektivitas program imunisasi.
Secara keseluruhan, dukungan WHO dalam berbagai bidang menunjukkan komitmennya untuk penguatan langkah pengendalian Japanese encephalitis di Indonesia, yang berkenaan dengan surveilans, perencanaan strategis, dan persiapan penggunaan imunisasi.
Kombinasi surveilans yang kuat, perencanaan strategis, dan imunisasi tidak hanya akan melindungi individu dari ancaman Japanese encephalitis melainkan juga berkontribusi pada tujuan lebih luas memastikan masa depan yang lebih sehat bagi semua anak di Indonesia. Dengan masih belum adanya pengobatan yang pasti untuk penyakit ini, inisiatif ini menyoroti pentingnya dukungan WHO dalam program pengendalian Japanese encephalitis.
Setelah dirampungkannya strategi nasional untuk surveilans Japanese encephalitis periode 2023–2027, Kemenkes saat ini sedang menyusun pedoman nasional baru untuk surveilans Japanese encephalitis. WHO turut serta dalam mengawasi tindakan ini, bersama dengan komite pakar Japanese encephalitis, dinkes provinsi, dan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. WHO berkolaborasi aktif dalam proses penyusunan pedoman ini serta memberikan masukan-masukan berdasarkan pedoman regional dan global. Finalisasi dan diseminasi pedoman ini dijadwalkan pada tahun 2024.
Upaya WHO untuk memperkuat upaya pengendalian Japanese encephalitis Indonesia didukung oleh pemerintah Australia, GAVI Alliance, dan pemerintah Amerika Serikat melalui USAID dan CDC.
Ditulis oleh Rodri Tanoto, National Professional Officer (New Vaccine) dan Joshua Harmani, National Professional Officer (VPD Surveillance), WHO Indonesia