WHO/Fauzan Ijazah
H. Salman Arifin, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Aceh Besar, menjelaskan pentingnya imunisasi polio kepada murid MIN 8 Peukan Bada.
© Credits

Ketahanan dan Harapan: Perjalanan Suatu Keluarga Melawan Polio di Aceh

18 April 2023
Feature story

Ketika H. Salman Arifin masih kecil, dunianya jungkir balik ketika adik bungsunya, Muhammad, didiagnosis terjangkit polio. Kehilangan ayah mereka pada 1974, Salman, saudara-saudaranya, dan ibu mereka, Habibah, sudah menghadapi tantangan yang rumit. Tetapi penyakit Muhammad tiba-tiba menambah lapisan kesulitan baru bagi keluarga. Ketakutan dan ketidakpastian soal penyakit tersebut sangat membebani keluarga, menciptakan riak psikologis dan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan banyak orang.

Salman dengan jelas mengingat keterkejutan dan ketakutannya ketika Muhammad terserang demam dan lumpuh beberapa hari kemudian. Terlepas dari tantangan tersebut, Habibah, yang dipanggil Umi oleh anak-anaknya, bertekad memberikan perawatan terbaik kepada anak-anaknya. Ia memulai perjalanan panjang dan menyakitkan untuk membantu putranya pulih. Dia melakukan perjalanan mingguan ke rumah sakit terdekat di Bireuen, menanggung rasa malu bepergian dengan pria asing di truk yang dimodifikasi untuk memastikan bahwa Muhammad menerima perawatan medis terbaik. Sebagai seorang guru agama dan janda dari ulama di Aceh, ada tabu bepergian dengan laki-laki yang bukan suami atau kerabat dekatnya.

Umi adalah seorang ibu yang berbakti yang tidak pernah menyerah pada putra bungsunya, Muhammad. Cinta dan dedikasinya yang tak tergoyahkan terlihat dalam segala hal yang dia lakukan, bahkan ketika dia harus menjual perhiasan berharga dan hadiah pernikahannya, harta karun bagi perempuan Aceh, untuk menghidupi keluarganya.

“Kami tidak pernah tahu tentang ini. Umi baru bercerita sesudah kami dewasa. Dia terpaksa menjual hadiah pernikahannya dari ayah, yang merupakan perhiasan paling berharganya. Itu adalah pengingat akan cintanya, almarhum ayah. Tapi itu harus dilakukan karena Umi harus menghidupi kami sambil merawat Muhammad,” kata Salman.

H. Salman Arifin berdiri dengan bangga di samping foto kesayangan ibunda tercinta, Umi Habibah.

H. Salman Arifin berdiri dengan bangga bersama foto kesayangan ibunda tercinta, Umi Habibah. Pengabdian Umi  yang tak tergoyahkan untuk membesarkan anak-anak dan merawat anak laki-lakinya yang lumpuh telah menginspirasi Salman untuk menjadi pejuang garis depan yang berdedikasi dalam meningkatkan kesadaran publik tentang dampak buruk polio bagi anak-anak dan orang tercintanya. WHO/Fauzan Ijazah

Kisah Umi adalah bukti pengorbanan luar biasa para ibu untuk anak-anaknya dan kekuatan serta ketangguhan jiwa manusia dalam mengatasi kesulitan. Perjuangan dan ketidakegoisannya menginspirasi Salman untuk melawan polio.

Kini, Salman adalah salah satu pemimpin perjuangan melawan polio di Aceh Besar. Ia menyampaikan pesannya kepada para orang tua di setiap sekolah di Aceh Besar, bertekad untuk memotivasi dan mengedukasi masyarakat, menghilangkan hambatan akses, dan mendukung imunisasi untuk melindungi semua anak dari penyakit yang dapat dicegah ini.

Di bawah kepemimpinan Salman, Kantor Agama Kabupaten Aceh Besar mengeluarkan surat kepada semua sekolah Islam untuk mendukung kegiatan imunisasi tambahan (SIA) di Aceh Besar. Dengan semua sekolah Islam di Aceh Besar berada di bawah kewenangannya, surat ini menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam cakupan imunisasi di seluruh wilayah tersebut.

H. Salman Arifin, didampingi tim teknis WHO dan UNICEF, berceramah di masjid dekat kantornya di Aceh Besar. Salman, yang mewarisi posisi dan profesi mendiang ayahnya sebagai ulama dan guru, menggunakan setiap kesempatan selama kampanye imunisasi di Aceh untuk menekankan pentingnya imunisasi untuk mencegah wabah polio. Dengan pengetahuan dan semangatnya untuk tujuan tersebut, Salman mengadvokasi kesehatan masyarakat di komunitasnya. WHO/Fauzan Ijazah

Di Indonesia, polio terus menjadi tantangan bagi masyarakat miskin yang sering kali tidak memiliki akses ke informasi memadai dan sanitasi layak, melanggengkan lingkaran setan kemiskinan. Keluarga yang terdampak polio harus menghadapi kenyataan nyata dari mobilitas fisik, ditambah rasa malu dan marginalisasi sosial yang terkait. Tapi ada harapan. Kita dapat mengakhiri polio dengan memberi anak-anak imunisasi polio dosis penuh dan akses ke sanitasi, gizi, dan pendidikan yang baik.

Kisah Umi menjadi pengingat bahwa dampak polio tidak hanya terbatas pada fisik, tetapi juga psikologis dan ekonomi yang berpengaruh bagi banyak orang. Ini adalah kisah cinta dan tekad seorang ibu yang tak tergoyahkan untuk sekuat tenaga memastikan kelangsungan hidup anaknya, bahkan jika harus melanggar norma sosial dan menanggung rasa malu. Dan ini adalah kisah tentang seorang anak laki-laki yang terinspirasi ketangguhan dan pengorbanan ibunya, bertekad melawan polio dan berkomitmen memastikan tidak ada keluarga lain yang menanggung kesulitan serupa.

WHO berterima kasih atas kontribusi finansial GAVI, USAID, dan US CDC terhadap penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) polio di Aceh.

Ditulis oleh Salman Nursiwan