Misi puluhan tahun Cerni Tolu untuk kesehatan komunitas Napu

5 January 2024
Reading time:

Cerni Tolu (54), dengan pakaian laboratorium lengkap, di laboratorium Napu, di mana ia banyak menghabiskan waktunya meneliti skistosomiasis. (WHO/Fieni Aprilia) 

Mengenakan rompi pelindung dan berbekal peralatan lapangan yang lengkap, Cerni Tolu, seorang peneliti di Puskesmas Wuasa, secara perlahan mengeluarkan keong-keong yang sangat kecil dari suatu wadah plastik. Dengan gerakan tangan, ia memperlihatkan binatang-binatang kecil di telapak tangannya. “Dulu ini ada di mana-mana,” katanya, melayangkan pandangan ke suatu aliran sungai dan sekitarnya. Terbaring di tengah-tengah Lembah Napu di Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah, daerah yang cantik ini menyembunyikan suatu ancaman – skistosomiasis, atau yang lebih dikenal dengan nama demam keong. 

Keong air tawar kecil, yang hampir tidak terlihat dengan mata telanjang, dapat membawa cacing parasit yang menyebabkan demam keong. (WHO/Fieni Aprilia) 

Skistosomiasis timbul akibat cacing parasit yang disebut Schistosoma japonicum, yang hidup di dalam tubuh keong air tawar. Keong pembawa cacing ini ada di 28 desa di Sulawesi Tengah, yaitu di Kabupaten Poso (pegunungan Bada dan Napu) dan Sigi (pegunungan Lindu). Demam keong terus menjadi ancaman terhadap kesehatan 22.000 orang yang tinggal di kedua kabupaten ini. Indonesia adalah negara terakhir di Kawasan Asia Tenggara yang masih berupaya mengeliminasi skistosomiasis sebagai masalah kesehatan masyarakat. 

Cerni, seorang penduduk asli Napu berusia 54 tahun yang memiliki pengalaman terkait skistosomiasis selama lebih dari 30 tahun, merenungkan dampak berkepanjangan akibat penyakit parasit ini pada masyarakat setempat sembari mengantongi keong-keong dan kemudian mengendarai sepeda motor tuanya kembali ke laboratorium di Desa Wuasa. Mata pencaharian desa telah lama terganggu, sehingga masyarakat mengolah ulang tanah, mengeringkannya, dan menyemprotkan pembasmi keong secara berkala. Di laboratorium skistosomiasis, Cerni dengan sigap mengenakan jas laboratoriumnya, kemudian meletakkan sampel keong di bawah mikroskop. 

Nasir, seorang petugas dinas kesehatan kabupaten, menyemprot area habitat keong dua kali setiap tahun dengan niklosamid untuk membasmi keong. Area yang menjadi fokus adalah area-area yang dikelilingi resapan air dan semak, yang perlu dibersihkan dan dipotong sebelum penyemprotan. (WHO/Fieni Aprilia) 

Cerni juga menggandeng masyarakat untuk mendukung penapisan dan pengobatan. “Terkadang tidak ada orang yang datang saat kami mengumpulkan sampel tinja. Mencapai sasaran cakupan 80% untuk satu desa umumnya membutuhkan waktu sekitar satu bulan,” jelasnya. Cerni menduga bahwa keengganan orang menjalani tes atau pengobatan sering kali diakibatkan kejemuan. Ia bercerita tentang seseorang yang tidak pernah mendapat hasil positif skistosomiasis dalam sepuluh tahun dan akhirnya bosan mengikuti tes tahunan. Namun, sebagian besar penduduk, terutama mereka yang sering terinfeksi, merasa pengobatan dan tes rutin membantu dan bersikap lebih positif terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Lebih lanjut, program pemberian obat pencegahan massal terus diterima dengan baik oleh masyarakat – semua orang, baik yang hasil tesnya negatif maupun positif, datang untuk menerima obat yang disediakan oleh WHO tersebut. 

Cerni Talu menganalisis sampel tinja manusia yang diambil setiap tahun. (WHO/Fieni Aprilia) 

Terlihat melalui mikroskop: keberadaan telur Schistosoma japonicum pada suatu sampel tinja mengonfirmasi infeksi parasit. (WHO/Fieni Aprilia) 

Seiring tibanya senja, Cerni merapikan mikroskop dan peralatan laboratoriumnya. Meskipun telah aktif bekerja di lapangan sejak tahun 1989, mengumpulkan sampel, melakukan pemeriksaan, dan menjalankan tes-tes laboratorium dengan dua koleganya serta beberapa sukarelawan, ia dengan mendalam mengatakan, “Sebagai penduduk asli desa ini, saya tidak boleh berkata bahwa saya lelah menjalankan rutinitas ini.” Ia menekankan peran penting semua anggota masyarakat desa dalam mengatasi bersama masalah ini, penekanan yang menunjukkan dedikasinya untuk membasmi skistosomiasis. WHO bekerja bersama masyarakat, seperti komunitas Cerni, serta pemerintah daerah dan nasional, untuk membawa Indonesia semakin dekat dengan pencapaian sasaran membasmi skistosomiasis untuk selamanya. 

Area seluas lima hektar ini adalah salah satu area habitat siput yang menjadi fokus. Beberapa petani bersama-sama mengolah lahan yang sebelumnya berupa rawa-rawa ini menjadi kolam produksi, taman, dan ladang. Upaya bersama masyarakat menghasilkan kesempatan berladang serta melindungi desa dari siput. (WHO/Fieni Aprilia) 


Ditulis oleh Fieni Aprilia, Digital Communications Officer, WHO Indonesia. Kredit foto: WHO/Fieni Aprilia