Membangun Kembali Lebih Baik: Memperkuat Kesiapan dan Ketahanan Indonesia terhadap Ancaman-ancaman Baru

4 March 2024
Highlights
Reading time:
Dampak dari pandemi COVID-19 telah menggeser fokus respons terhadap krisis menjadi kesiapsiagaan proaktif terhadap ancaman-ancaman baru. Namun, ancaman penyakit infeksi baru (emerging infectious disease, EID) terus menjadi risiko kesehatan masyarakat.

Sepanjang pandemi COVID-19, WHO mendukung Indonesia menjalankan Intra-Action Review (IAR) atau Kajian pada saat response terhadap kedaruratan yang mengidentifikasi bidang-bidang praktis yang memerlukan perbaikan segera atas respons yang sedang dijalankan yang perlu terus ditingkatkan. Delapan kegiatan kajian (IAR) dijalankan dalam waktu tiga tahun, dengan rekomendasi-rekomendasi utama mulai dari peningkatan surveilans tepat waktu (real time), kesiapan rumah sakit, hingga pemberdayaan berbasis masyarakat. Rekomendasi-rekomendasi ini diterjemahkan menjadi tindakan, antara lain melalui evaluasi program pelatihan epidemiologi lapangan Field Epidemiology Training Program (FETP) dan penyusunan rencana kontingensi lintas sektor, pelatihan refresher  surveilans sentinel untuk penyakit serupa influenza (ILI) dan infeksi saluran pernapasanakut  Berat (Severe Acute Respiratory Infection /SARI), dan pemetaan risiko penyakit infeksi baru.

Didirikan pada tahun 1982 sebagai program tanpa gelar untuk melatih epidemiolog-epidemiolog lapangan, FETP kini dijalankan sebagai program dengan gelar magister di lima universitas pemerintah di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Denpasar. Untuk meningkatkan kualitas FETP, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan WHO mengadakan evaluasi peningkatan kualitas berkelanjutan untuk mengidentifikasi pencapaian, kesenjangan, dan kesempatan perbaikan. Para evaluator merekomendasikan penguatan koordinasi dan sumber daya dalam jejaringan FETP, pertemuan dengan kementerian-kementerian terkait, dan kajian kurikulum berkala untuk memastikan kualitas dan konsistensi program. Rekomendasi-rekomendasi ini menjadi masukan dalam rencana strategis terbaru FETP Indonesia, yang bertujuan memberikan pelatihan berkualitas tinggi kepada epidemiolog-epidemiolog yang akan berperan penting dalam menjaga kesehatan masyarakat.

WHO juga berkolaborasi dengan Kemenkes untuk menyusun rencana kontingensi lintas sektor terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat di empat kabupaten/kota: Bengkulu Tengah, Lombok Tengah, Cilegon, dan Minahasa. Lokakarya penyusunan rencana-rencana ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam menata rencana kontingensi spesifik kabupaten/kota berdasarkan pedoman WHO dan kerangka respons bencana nasional. Rencana-rencana ini memberikan panduan yang jelas tentang tindakan dalam upaya respons bersama, peran, tanggung jawab, dan koordinasi di antara berbagai pemangku kepentingan yang bertugas merespons ancaman kesehatan masyarakat baru. Selain keempat kabupaten/kota tersebut, 12 kabupaten/kota di Indonesia telah menerima dukungan WHO dalam menyusun rencana kontingensi. Kabupaten/Kota tersebut terletak di Provinsi Banten, Jawa Timur, Sumatra Utara, Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat.

“Rencana kontingensi perlu dikaji dan diuji secara berkala, guna memastikan efektivitas dan relevansinya seiring waktu. Selain itu, rencana tersebut akan diterjemahkan menjadi rencana respons untuk semakin memfasilitasi tindakan terkoordinasi, peran, tanggung jawab, dan komunikasi di antara berbagai pemangku kepentingan dalam merespons ancaman kesehatan masyarakat baru,” kata dr. I Made Yosi, epidemiolog Kelompok Kerja Karantina Kesehatan Kemenkes, dalam sebuah pertemuan penyusunan rencana kontingensi.

Pelatihan refresher  surveilans sentinel ILI di Bandung, Jawa Barat. Kredit: WHO/Endang Wulandari

Selain itu, WHO dan Kemenkes mengadakan pelatihan untuk 15 rumah sakit sentinel infeksi saluran pernafasan akut  (ISPA)  berat dan 26 puskesmas sentinel ILI. Fasilitas kesehatan sentinel  berperan penting untuk menemukan penyakit-penyakit infeksi baru sejak dini karena fasilitas-fasilitas ini memantau gejala-gejala serupa flu dan infeksi saluran pernapasan akut berat, sehingga dapat memberikan peringatan dini terhadap potensi wabah sebelum menyebar luas. Dalam pelatihan-pelatihan ini, para peserta menyegarkan kembali pengetahuan mereka tentang deteksi kasus; definisi operasional kasus ISPA; pengambilan, pengemasan, dan pengiriman sampel; pencatatan dan pelaporan; dan analisis data. Setelah pelatihan-pelatihan ini, WHO dan Kemenkes mengkaji kinerja surveilans pemantau ISPA, mengidentifikasi kesenjangan, dan mendiskusikan tindak lanjut yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja ini.

Selain itu, WHO mendukung lokakarya penyakit infeksi baru untuk 100 tenaga kesehatan dari 34 provinsi yang menekankan strategi kesiapan penyakit infeksi baru, deteksi, surveilans kesehatan pasien (surveilans sindromik), dan pemetaan risiko. WHO membantu Kemenkes untuk menyusun instrumen pemetaan risiko COVID-19 dan ancaman-ancaman baru lain seperti penyakit virus Nipah, mpox, meningitis meningokokus, flu burung, Zika, dan infeksi Legionella.

Setelah penetapan berakhirnya status kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia COVID-19, WHO mendukung Indonesia menjalankan After Action Review (AAR) atau Kajian Pascatindakan untuk menarik pelajaran dan memperkuat mekanisme-mekanisme responsnya. Kegiatan AAR pada 26–27 September 2023 melibatkan 170 peserta dari berbagai sektor, termasuk kementerian, lembaga pemerintah, asosiasi, dan lembaga akademik. Para peserta mengkaji koordinasi kedaruratan, surveilans kolaboratif, pelayanan yang aman dan dapat diperluas, akses alat kesehatan dan medis, dan perlindungan masyarakat selama pandemi. Dalam kajian ini, WHO memperkenalkan pendekatan Preparedness, Resilience, and Emerging Threats (PRET)/ Kesiapsiagaan dan ketahanan terhadap ancaman baru yang mengakui bahwa sistem, kapasitas, pengetahuan, dan instrumen yang sama dapat dimanfaatkan dan diterapkan untuk berbagai kelompok patogen berdasarkan moda transmisinya.

Penyusunan rekomendasi tindakan prioritas dalam pertemuan After Action Review (AAR). Kredit: WHO/Endang Wulandari

AAR merekomendasikan agar Indonesia menjalankan langkah-langkah peralihan dari COVID-19 dan menerapkan kebijakan pencegahan dan pengendalian penyakit yang ditularkan hewan (zoonosis) dan penyakit infeksibaru. Rekomendasi-rekomendasi lain meliputi pemutakhiran rencana kontingensi berdasarkan pelajaran yang dipetik dari COVID-19, memperkuat surveilans dengan surveilans epidemiologi dan virologi menggunakan data dari berbagai sumber melalui antara lain melanjutkan surveilans sentinel ILI dan SARI untuk influenza dan COVID-19, penguatan penilaian risiko dan pemetaan risiko, peningkatan kesiapan rumah sakit melalui kajian berkala, dan memastikan rencana penggunaan alat medis dan kesehatan  seperti vaksin dan peralatan medis. Rekomendasi-rekomendasi ini penting sebagai masukan bagi rencana-rencana nasional dan subnasional Indonesia untuk memastikan kesiapan dan respons yang lebih baik terhadap ancaman-ancaman kesehatan masyarakat di masa mendatang.

Inisiatif-inisiatif di atas sangat penting bagi ketahanan Indonesia. Dengan menjalankan langkah-langkah proaktif tersebut, Indonesia berupaya membangun fondasi yang kuat untuk kesiapan dan respons terhadap ancaman-ancaman baru, demi melindungi kesehatan dan kesejahteraan penduduknya.

Kegiatan ini banyak didukung oleh Uni Eropa dan Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID.

Ditulis oleh dr. Endang Widuri Wulandari, National Professional Officer, WHO Indonesia.