© WHO / Asad Zaidi
© Credits

Indonesia Mengkaji Penetapan Harga dan Ketersediaan Obat untuk Memperkuat Kemerataan Akses

8 July 2025
Highlights

Penilaian bersama oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), World Health Organization (WHO), dan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan bukti-bukti baru untuk memperkuat penetapan harga, pengadaan, dan ketersediaan obat-obatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dilakukan di 25 fasilitas kesehatan di empat provinsi pada September 2024 hingga Maret 2025, kajian ini menjadi titik awal untuk penguatan akses yang merata terhadap obat-obatan. Meskipun tidak bersifat representatif secara nasional, kajian ini menilik praktik pengadaan, penetapan harga, dan distribusi untuk obat-obat penyakit kronis, kemoterapi, dan Program Rujuk Balik – serta bagaimana ketidakefisienan terkait berdampak pada ketersediaan dan perlindungan finansial.

Penetapan harga dan pengadaan obat masih menjadi tantangan rumit dalam sistem kesehatan Indonesia yang terdesentralisasi. Meskipun telah ada berbagai jalur pengadaan, batasan harga maksimal, dan mekanisme pembiayaan, masih terdapat kesenjangan yang menaikkan harga obat, mengganggu rantai pasokan, dan membebani anggaran rumah sakit. Hal ini terus menjadi ancaman terhadap akses obat-obatan di dalam JKN, yang berdampak langsung pada kemajuan Strategi Transformasi Teknologi Kesehatan Bidang Farmasi dan Alat Kesehatan, agenda transformasi kesehatan, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025–2029.

Kajian ini menunjukkan banyak fasilitas kesehatan mengadakan obat-obatan pada harga yang melebihi batas maksimal penggantian biaya (reimbursement) nasional, terutama pengadaan obat di luar mekanisme pembelanjaan bersama (pooled purchasing). Di lebih dari setengah fasilitas dalam penilaian, harga pengadaan melebihi tingkat penggantian yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/503/2024, bahkan hingga sepuluh kali lipat dalam kasus-kasus tertentu. Meskipun telah ada etalase konsolidasi, suatu daftar obat-obatan dengan harga maksimum yang telah ditetapkan oleh Kemenkes untuk membantu rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan membeli obat-obatan dengan lebih mudah dan terjangkau, banyak fasilitas masih kesulitan mendapatkan harga yang sesuai.

Meskipun 64% fasilitas kesehatan melaporkan ketersediaan lebih dari 80% obat yang dikaji, kekurangan persediaan dilaporkan terjadi untuk insulin, aspirin, klopidogrel, parasetamol, dan obat-obat kemoterapi tertentu. Fasilitas-fasilitas di provinsi Papua dan Sulawesi Selatan melaporkan tantangan yang lebih besar, di mana kekurangan yang terkait dengan ketidakakuratan perencanaan kebutuhan, keterlambatan pembayaran, hambatan regulasi, ketergantungan pada bahan baku impor, dan gangguan rantai pasok global.

“Memastikan ketersediaan obat-obatan yang berkualitas, efektif, dan terjangkau merupakan suatu keharusan,” kata Dita Novianti Sugandi Argadiredja, Direktur Produksi dan Distribusi Farmasi Kemenkes. “Kami terus berkomitmen memastikan obat-obatan terdistribusi secara merata sesuai kebutuhan sebenarnya, di mana pun. Etalase konsolidasi membuat akses lebih mudah, tetapi masih dibutuhkan penilaian untuk memastikan keselarasan dengan nilai-nilai klaim yang telah ditetapkan.”

Kajian ini juga mengidentifikasi kendala operasional yang memengaruhi pengadaan, khususnya di provinsi Papua dan Sulawesi Selatan. Banyak rumah sakit melaporkan keterbatasan akses kredensial e-katalog maupun staf terlatih, sehingga masih bergantung pada pengadaan manual dan pembelian yang tertunda. E-katalog, sistem elektronik yang dikelola Lembaga Kebijakan dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) berisi daftar pemasok dan harga standar untuk pembelanjaan pemerintah, dirancang untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi, tetapi hambatan akses masih menghalangi pemanfaatan optimal sistem ini. Dalam kasus-kasus tertentu, distributor membatasi akses terhadap stok yang tersedia akibat tagihan rumah sakit yang belum dibayarkan, sedangkan keterlambatan verifikasi penggantian biaya turut menimbulkan kekosongan yang berulang.

Sejumlah orang dalam diskusi kelompok terpumpun dalam ruang rapat.
Diskusi kelompok terpumpun di Jakarta. Kredit: Sekolah Farmasi ITB

Agenda tindakan

Berdasarkan temuan kajian ini, prioritas-prioritas yang perlu segera dilakukan mencakup peningkatan akurasi dan ketepatan waktu perencanaan kebutuhan, memperluas pelatihan bagi staf pengadaan, memperkuat kapasitas e-katalog, dan penanganan keterlambatan dalam proses kredensial. Prosedur-prosedur administratif juga perlu disederhanakan untuk mempercepat proses pembayaran dan verifikasi.

Dalam jangka menengah, prioritas-prioritas meliputi pemantauan kesesuaian harga pengadaan dan tingkat pemenuhan kebutuhan. Penting juga memperkuat koordinasi antara BPJS Kesehatan,yang mengelola pembiayaan jaminan kesehatan, dan LKPP, lembaga yang bertanggung jawab atas kebijakan pengadaan nasional. Fokus utama lainnya meliputi menyelaraskan formularium nasional–yaitu daftar resmi obat-obatan yang diizinkan untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan– dengan daftar e-katalog dan sistem klaim. Selain itu, opsi-opsi jangka panjang meliputi peningkatan produksi bahan baku obat dalam negeri serta integrasi penguatan data pengadaan dan pembiayaan ke dalam platform SatuSehat agar pemantauan dapat dilakukan secara langsung (real-time).

“Sekarang, berkat kajian ini, kita memiliki agenda yang jelas untuk fase selanjutnya dalam reformasi kefarmasian,” ujar Profesor Roderick Salenga, Team Lead for Health Systems WHO Indonesia. “Sistem pengadaan dan pembiayaan yang lebih kuat penting untuk memastikan akses yang baik pada obat-obatan, melindungi sumber daya publik, dan mempertahankan kemajuan menuju cakupan kesehatan semesta.”

Pada bulan-bulan mendatang, WHO akan terus bekerja dengan Kemenkes dan badan-badan nasional utama untuk menerjemahkan temuan-temuan ini menjadi tindakan, memperkuat penguatan, serta memastikan akses yang lebih andal pada obat-obatan, sesuai dengan Strategi Kerja Sama Negara WHO 2023–2027 dan prioritas reformasi kesehatan nasional Indonesia.


Ditulis oleh Liyana Rakinaturia, National Professional Officer (Essential Drugs and Medicines), WHO Indonesia