Sepanjang tahun 2025, pemerintah Indonesia, World Health Organization (WHO), dan para mitra memperkuat upaya untuk memperkuat kapasitas nasional dan daerah dalam membangun sistem sanitasi berketahanan iklim yang melindungi kesehatan dan membantu masyarakat beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.
Sanitasi yang buruk masih menjadi risiko kesehatan dan lingkungan yang serius di seluruh Indonesia dan berdampak pada jutaan orang. Lebih dari 30 juta orang Indonesia masih belum memiliki akses sanitasi yang dikelola dengan aman, dan hingga tahun 2024 hanya 10,2% rumah tangga yang memiliki fasilitas toilet yang memisahkan limbah manusia dari orang dan lingkungan. Banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut semakin membebani sistem sanitasi yang ada dan jaringan pengelolaan limbah informal, memperburuk dampak kesehatan akibat perubahan iklim.
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah Indonesia dan WHO bekerja sama menerapkan perencanaan sanitasi yang aman atau SSP. Pendekatan SSP mencakup seluruh tahapan sanitasi, dari fasilitas hingga pengolahaan dan pemanfaatan kembali atau pembuangan aman untuk air limbah dan lumpur tinja yang telah diolah. Tujuannya adalah mengurangi risiko kesehatan akibat penyakit dan pencemaran, sekaligus membantu masyarakat beradaptasi terhadap tantangan-tantangan iklim.
Peserta pelatihan SSP mengunjungi instalasi pengolahan air limbah untuk mengidentifikasi risiko dalam proses pengolahan limbah. (Kredit: WHO/Indah Deviyanti)
Dalam pelatihan SSP di Yogyakarta pada bulan Juni 2025, para peserta mengidentifikasi sejumlah risiko utama berdasarkan studi kasus nyata di Bantul, Sleman, dan Surakarta. Risiko-risiko ini mencakup pembuangan lumpur tinja yang belum diolah, luapan limbah dari saluran yang tersumbat, serta kurangnya akses alat perlindungan diri bagi petugas sanitasi di lokasi pengolahan. Para peserta mengusulkan serangkaian solusi terarah, termasuk membangun atau memperbaiki tangki septik dan sistem drainase, menetapkan prosedur penangnaan limbah yang jelas, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang praktik sanitasi aman, serta melakukan perencanaan antisipatif menghadapi hujan lebat dan banjir untuk mencegah luapan limbah.
“Pelatihan ini menunjukkan bagaimana dampak perubahan iklim membuat sanitasi menjadi lebih kompleks,” ujar Laisa Wahanudin, kepala tim kerja sanitasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Tetapi SSP memberikan instrumen praktis dan jelas yang dapat kita gunakan dalam proses perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional.”
Fasilitator WHO, Leonellha Dillon, memimpin sesi pelatihan kelompok. (Kredit: WHO/Indah Deviyanti)
Kunjungan lapangan ke instalasi pengolahan lumpur tinja dan air limbah membantu peserta menerapkan pendekatan berbasis risiko secara langsung, melalui pengamatan tentang bagaimana keputusan dapat mengurangi paparan pada limbah yang belum diolah serta membangun sistem sanitasi yang lebih aman dan berketahanan iklim.
“Seiring meningkatnya risiko iklim, kami berkomitmen untuk membangun sistem sanitasi yang melindungi kesehatan masyarakat dan menjaga lingkungan,” kata Sukamto, staf ahli gubernur bidang hukum, pemerintahan, dan politik, pemerintah provinsi DI Yogyakarta. “Sanitasi bukan sekadar soal toilet dan pipa – sanitasi mencerminkan nilai-nilai kita dan masa depan yang ingin kita harapkan. Kebersihan adalah bagian dari budaya kita dan membantu menjaga lingkungan tetap sehat.”
Dengan adanya penyusunan pedoman nasional yang baru, SSP kini menjadi bagian penting dari kerangka perencanaan iklim dan kesehatan di Indonesia. Sejumlah kementerian dan pemerintah kabupaten/kota telah berkomitmen untuk memasukkan SSP ke dalam strategi sanitasi kabupaten/kota dan proses penganggaran daerah. WHO mendukung tahap berikutnya dengan membantu pengembangan pedoman SSP yang berketahanan iklim serta membangun pusat pembelajaran daring untuk memperluas akses instrumen dan pelatihan lintas sektor.
“Kerangka SSP yang baru menunjukkan bahwa aksi iklim dan keamanan sanitasi saling terkait,” kata Dr Lubna Bhatti, Team Lead Healthier Populations, WHO Indonesia. “Dengan mengelola risiko di seluruh rantai sanitasi, Indonesia melindungi orang-orang sekaligus lingkungan.”
Dengan kepemimpinan yang berkelanjutan dari pemerintah Indonesia dan dukungan WHO serta para mitra, SSP kini bergeser dari tahap pelatihan menuju tahap transformasi, membantu pemerintah daerah menjadikan layanan sanitasi sebagai penggerak kesetaraan kesehatan, ketahanan, dan aksi iklim dalam jangka panjang.
Kegiatan ini didukung secara finansial oleh Directorate General for International Cooperation, Kerajaan Belanda.
Ditulis oleh Indah Deviyanti, National Professional Officer (Environmental Health and Climate Change), dan Itsnaeni Abbas, Consultant (Environmental Health), WHO Indonesia