Membangun Perisai Kesehatan yang Kokoh: Memperkuat Surveilans Indonesia untuk Kesiapan Kedaruratan

29 February 2024
Highlights
Sistem surveilans yang kuat merupakan batu tumpuan kesiapan kedaruratan karena memungkinkan deteksi cepat dan memperoleh informasi penting untuk pengambilan keputusan yang matang. Namun, pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki kapasitas surveilans yang memadai untuk mengatasi krisis-krisis kesehatan besar. Sistem surveilans Indonesia juga dihadapkan pada tantangan perbedaan antara 40 lebih sistem surveilans nasional, yang memiliki metode pengumpulan dan pemrosesan datanya masing-masing. Selain itu, lebih dari 10.000 fasilitas kesehatan, laboratorium, dan kantor kesehatan pelabuhan di negara menghasilkan data surveilans, tetapi analisis komprehensif di tingkat subnasional masih menjadi tantangan. Hal ini menyoroti dibutuhkannya rencana transisi yang menyeluruh, peningkatan kapasitas deteksi, evaluasi sistem, dan peningkatan kemampuan analisis dan penggunaan data.

Melihat keterbatasan-keterbatasan yang tampak selama pandemi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan WHO pada tahun 2023 menyusun rencana transisi untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas surveilans Indonesia. Dengan melibatkan pakar dari berbagai bidang dalam penyusunannya, rencana ini memastikan pendekatan One Health dan respons yang lebih kolaboratif menghadapi pandemi-pandemi di masa mendatang. Rencana transisi yang sudah mulai dijalankan sejak akhir 2023 ini diharapkan meningkatkan deteksi dan penilaian risiko, memantau karakteristik epidemiologis patogen, dan mengarahkan intervensi kesehatan manusia.

Paparan studi kasus oleh peserta dari Kelompok Kerja Penyakit Infeksi Emerging. Kredit: Kemenkes/dr. Triya Dinihari

Untuk meningkatkan kapasitas deteksi, WHO membantu Kemenkes mengadakan 18 putaran pelatihan tentang Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) pada tahun 2023. Pelatihan-pelatihan ini memampukan petugas surveilans dari berbagai puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan laboratorium kesehatan masyarakat menggunakan SKDR, sehingga mereka dapat melakukan deteksi dini, pelaporan dini, dan pembagian data. WHO dan Kemenkes juga mengevaluasi SKDR melalui pembahasan tentang pemahaman dari berbagai respons kejadian luar biasa (KLB) dan penggunaan teknik-teknik tingkat lanjut seperti pemantauan media dengan Epidemic Intelligence from Open Sources (EIOS), atau inisiatif intelijen epidemi dari sumber terbuka. Kemenkes menekankan pentingnya peningkatan kapasitas staf untuk memberikan respons yang berkualitas serta mendorong kolaborasi lintas sektor.

“Kita perlu naik ke tingkat berikutnya. Kita sudah mencapai ketepatan waktu dan kelengkapan yang baik. Sekarang, kita perlu meningkatkan kualitas respons kewaspadaan untuk menghentikan penularan di sumbernya,” kata dr. Triya Dinihari, ketua Kelompok Kerja Surveilans Kemenkes, dalam sambutan pembukaannya.

4 orang pembicara duduk di kursi di atas panggung.
Sesi panel (dari kiri: WHO Indonesia, Kemenkes, ASEAN BioDiaspora Virtual Centre, Kemenko PMK) tentang rencana surveilans kolaboratif terintegrasi. Kredit: Kemenkes/Abuchori

Sementara itu, untuk memastikan ke-40 sistem berjalan dengan efisien dan dapat mengatasi tantangan-tantangan baru, Indonesia memerlukan sumber daya manusia yang mampu mengevaluasi sistem secara berkala. WHO memberikan kontribusi dalam bentuk pelatihan evaluasi surveilans pada Pertemuan Ilmiah Epidemiologi Nasional ke-10 di Makassar, Sulawesi Selatan pada 9 hingga 12 Oktober 2023. Dalam pelatihan ini, WHO menyoroti pedoman yang menekankan perspektif lebih luas dalam pelaksanaan surveilans.

Memenuhi kebutuhan mendesak akan analisis dan penggunaan data, Kemenkes bekerja dengan WHO, Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, dan Field Epidemiology Training Program (FETP) untuk menyusun pedoman praktis untuk analisis sederhana data surveilans dan komunikasi efektif. Buku pedoman yang disusun pada Juni 2023 ini akan digunakan oleh petugas-petugas surveilans di seluruh Indonesia. Inisiatif ini dilanjutkan dengan pelatihan praktik selama dua hari untuk petugas-petugas Kemenkes pada Juli 2023. Kegiatan ini mendapatkan umpan balik positif dari para peserta, yang menunjukkan signifikansi pelatihan ini dalam meningkatkan kesiapan dan kapasitas respons Indonesia.

Menurut Sabrina, seorang petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan Soekarno-Hatta yang mengikuti pelatihan ini, petugas surveilans tidak asing dengan analisis data, tetapi mereka perlu meningkatkan kemampuan mengkomunikasikan data kepada pembuat kebijakan dan masyarakat. “Pekerjaan rumah kami adalah memberikan visualisasi data dengan interpretasi yang kuat. Pelatihan ini menjawab kebutuhan ini,” ujarnya.

Implementasi rencana transisi, evaluasi dan pelatihan SKDR, evaluasi sistem surveilans, serta peningkatan analisis dan penggunaan data tidak hanya akan meningkatkan ketepatan waktu dan efektivitas respons, melainkan juga memperkuat ketahanan Indonesia terhadap penyakit dan ancaman kesehatan baru.

Pelatihan analisis data untuk staf teknis Kementerian Kesehatan. Kredit: WHO/Moch. Thoriq Assegaf Al-Ayubi 

Komitmen Indonesia untuk memperkuat sistem surveilansnya merupakan fondasi untuk perbaikan terus-menerus. WHO akan terus mendukung Kemenkes dalam mengadakan pelatihan SKDR untuk pengelola surveilans dan finalisasi buku pedoman data surveilans, yang diharapkan akan diterbitkan pada 2024 dan digunakan dalam pelatihan-pelatihan di masa mendatang. Kolaborasi berkelanjutan dengan kementerian dan mitra terkait, disertai promosi surveilans kolaboratif, memastikan bahwa Indonesia akan lebih siap menghadapi pandemi-pandemi di masa mendatang.

Kegiatan ini banyak didukung oleh pemerintah Jerman dan Australia.

Ditulis oleh personel WHO Indonesia berikut:
  • Mushtofa Kamal, NPO Surveillance
  • Moch Thoriq Assegaf Al Ayubi, Surveillance Data Assistant
  • Ubaidillah, Executive Assistant
  • Rizqy Fauzia Ahsani, Surveillance Data Assistant